html

- See more at: http://kukuhpw.blogspot.com/2013/02/cara-memasang-button-share-di-side-bar.html#sthash.jmwdAAmM.dpuf

Wednesday, 22 February 2012

BATU


Sekarang hari minggu. Di kamar ini, di atas kasur dengan sprei  warna hitam bergaris putih  aku masih meringkuk di dalam selimut dengan warna yang sama dengan spreiku. Kubiarkan saja alarm handphoneku meraung-raung dengan lagu Sheila on 7-Pagi yang Menakjubkan. Tapi lama-lama aku tidak tahan juga. Kugerayangi benda kotak itu di kasurku. Sial..tanganku tak dapat mendeteksinya. Dengan jengkel kubuka mata dan segera menekan tombol stop untuk membungkam raungan congkaknya.
            Cepat-cepat kuraih selimutku lagi sambil melirik angka jam di handphoneku. Ahh…baru jam setengah Sembilan. Tapi tiba-tiba aku seperti tersengat listrik. Mendadak pikiranku kembali waras. Jam Sembilan kan aku harus ke Sanggar Guna.
            Buru-buru aku turun dari kasur. Tapi baru beberapa langkah menuju pintu tiba-tiba…
            “Ahhh…!!!”teriakku tanpa bisa terkontrol dengan diiringi suara berdebam. Tubuhku yang gendut jatuh di lantai kamarku yang berlapis karpet coklat.
            “Kenapa Will?”tanya ibuku dengan nada penuh kekhawatiran.
            “Kesandung Bu…”jawabku sambil bersusah payah untuk bangkit.
            “Kesandung apa?”
            “Batu…nggak tau dari mana”
            “Mana…nggak ada batu…?”tanya ibu sambil celingak celinguk.
            “Hah…tadi ada kok…”sergahku penuh keyakinan.
            “Halah…cepetan mandi sana…biar cepet sadar!”kata ibu sambil ngeloyor pergi.
            Aku yakin tadi ada batu yang menyandungku!! Mataku terus mencari-cari kemana gerangan batu itu sambil tanganku  memegangi lututku yang ngilu, Tapi kok nggak ada...? Aneh.
***
            Meskipun sudah jam setengah sepuluh pagi, hari minggu kali ini begitu redup. Matahari tak terlalu bersinar. Jalanan pun tak terlalu ramai. Perjalan ke Sanggar Guna, tempatku belajar menulis, terasa begitu cepat. Tapi aku yakin, aku sudah terlambat seperti biasa.
            Setelah melewati pagar warna krem, seperti biasa aku memarkir sepeda motor bebek warna hitamku di bawah pohon mangga. Tapi anehnya sepeda motor yang terparkir tidak sebanyak biasanya. Jumlahnya tidak genap sepuluh.
Di paviliun depan, terlihat pak Anas, guru kelas menulis kami, sedang ngobrol dengan santai dengan beberapa teman. Aneh sekali, biasanya jam segini sudah mulai. Mana sepi lagi. Mungkin karena hari ini begitu redup makanya teman-teman kelas menulis malas untuk keluar rumah. Mendung-mendung begini lebih enak tidur di dalam selimut.
            Sambil berjalan tertatih gara-gara peristiwa kecelakaan di kamar yang tidak jelas itu, aku membayangkan sedang tidur di kamarku yang hangat…oh nikmatnya…
            “Brukk!!!”
            Ancrittt…mimpi apa aku semalam? Sekarang aku malah mencium kerikil halaman depan sanggar.
            “Kamu nggak apa-apa Wil?”tanya Bendot yang semula berada di paviliun. Cowok kurus dan berambut ikal ini terlihat kesusahan membantu tubuhku yang gempal ini untuk berdiri. Setelah ini aku aka berniat untuk diet.
            “Nggap apa-apa Dot…tapi dengkulku kayaknya retak nih”jawabku sambil meringis. Kulihat pak Anas dan beberapa teman lain sudah merubungku. Gila…pagi-pagi sudah jadi tontonan atraksi gajah nungging. Huwhh…
            “Kamu kenapa kok tiba-tiba nyosop? belum sarapan ya?”tanya Pak Anas dengan memasang tampang prihatin. Apa menurut pria bermata sipit ini aku seperti penderita busung lapar?
            “Kesandung Pak…aku nggak lihat kalau ada batu,”jawabku sambil menunjuk hamparan kerikil di bawah kakiku.
            “Batu???”tanya mereka bersamaan sambil celingak celinguk.
            “Tadi ada kok…”jawabku sambil garuk-garuk kepala.
            “Sepertinya William harus pakai kacamata seperti aku deh,”usul Fais sambil tersenyum, cewek berkacamata itu terlihat senang dapat hiburan pagi-pagi. Senyumnya manis sekali. Tak apalah aku jatuh 1000 kali, asal bisa melihat Fais tersenyum.
            “William…William,”celetuk Pak Anas sambil terkekeh. Emang kenapa dengan namaku? Memangnya nggak pantes ya gajah bengkak punya nama sekeren ini? Begini-begini ibuku dulu bercita-cita agar anaknya seganteng Pageran William, tapi sepertinya cita-citanya nggak kesampaian. Sungguh malang ibuku.
            Tanpa menanggapi mereka, aku terus berjalan menuju perpustakaan, sambil terseok ku tinggalkan mereka yang masih cekikikan bahagia. Sial benar aku hari ini. Dua kali kesandung gara-gara batu, dua kali pula aku tidak menemukan batu itu. Lalu aku kesandung apa?
Ahhh…
            Begitu masuk perpustakaan, Mas Peje, petugas perpustakaan berbadan kurus itu sudah menyapaku. Sungguh ramah pria ini. Cukup menetralisir kedongkolan hatiku.
            Di dalam pun masih sepi, hanya ada empat anak yang sedang memilih-milih buku. Ku hampiri saja mereka sambil melihat-lihat buku. Tapi belum sampai dapat buku yang aku ingin kan, Pak Anas dan gerombolannya sudah masuk sambil senyum-senyum. Waktunya belajar dimulai.
***
            Kelas menulis hari ini terasa lengang, hanya ada 11 peserta. Kami bersebelas duduk  bersila dalam diam dengan pikiran masing-masing. Mendengarkan pelajaran baru dari Pak Anas. Pria yang suka memakai celana pendek ini terlihat ceria membimbing kami. Mungkin karena pagi-pagi sudah dihibur oleh  badut nyosop. Sesekali suara kendaraan di jalan raya terdengar mengiringi suara pak Anas. Membentuk simfoni kedamaian. Begitu tenang. Jauh dari kata bising.
            Ketenangan ini menyejukkan. Meskipun kipas angin di atas kami berputar dengan sangat pelan, hawa sejuk dari luar bisa kami rasakan. Membuat kami lebih bisa menikmati suasana belajardengan khidmat. Setiap kata yang kami petik tercerna baik. Tanpa hawa panas, tanpa keramaian. Lengang tapi damai. Sepi tapi memancarkan semangat.
***
            Kali ini kami dapat tugas mendeskripsikan suasana di Sanggar guna. Sumpah aku kebingungan. Lima menit pertama kertasku masih kosong. Kulihat sekeliling. Bendot terlihat celingak celinguk sambil ndelosor di lantai. Jaket abu-abu yang semula menempel di tubuhnya sudah tergeletak begitu saja disampingnya. Cari inspirasi saja sampai segitunya.
Kemudian ku lihat Fais, ia begitu serius berkutat dengan tulisannya. Kupandangi terus wajah cantiknya yang makin bersinar dengan jilbab ungu yang dipakainya. Dia melirikku sebentar. Buru-buru aku menulis entah apa di kertasku. Jantungku berdebar nggak karuan. Baru dilirik saja sudah kayak gini. Huft…mukaku pasti sudah seperti kepiting rebus.
Terus saja kucorat-coret kertasku yang sudah coreng moreng dengan tulisan yang tidak jelas. Bahkan ketika kukumpulkan, aku tidak tahu dengan pasti apa yang kutulis. Sial…Fais sudah mengacaukan pikiranku.
***
            Ketika pelajaran usai, kami bersama-sama menyantap melon di gubuk samping sanggar. Dengan rakusnya aku sudah habis satu piring dengan mulut terus saja nyerocos bersama Bendot dan Usul. Kulihat Fais dan Sari datang dengan malu-malu menjumput satu iris melon di piring setelah dipaksa Pak Anas. Tapi setelah itu mereka langsung pergi. Ahhh…kenpa dia buru-buru pergi? Kupandangi saja punggungnya dengan balutan terusan ungu yang membuatnya semakin anggun.
            Seperti terhipnotis, aku pun bangkit setelah tak kulihat punggung Fais. Kudengar Usul memanggil,”Will…mau kemana?”
            “Pulang,”jawabku singkat tanpa menoleh ke arah cowok cungkring yang memakai kemeja garis-garis itu.
            Tapi begitu sampai di tempatku memarkir sepeda motor, Fais sudah tak nampak. Hahhh…cepat sekali hilangnya. Akhirnya kuputuskan untuk langsung pulang. Kalau aku tidak bengong seperti babi kekenyangan, pasti sekarang aku sudah mengikuti Fais dan tahu dimana rumahnya.
            Langit mendadak gelap. Angin bertiup sangat kencang. Segera kupercepat laju sepeda motorku. Di depanku ada sebuah truk pengangkut batu kapur. Terpal penutup bak terlihat berkibar-kibar tertiup angin yang kencang. Tiba-tiba..
“Bruk!Bruk!Bruk!” lima bongkah batu kapur jatuh tepat didepanku. Tanpa bisa menghindar lagi, sepeda motorku menabrak bongkahan besar itu. Sepeda motorku langsung oleng tak karuan. Segera ku injak rem kaki dan menggenggam rem tangan sekuat-kuatnya. Malaikat maut seolah melambai-lambai kepadaku. Oh Tuhan…kenapa aku mati dengan cara seperti ini? jalanan sedang sepi, siapa yang akan menolongku?
            Ternyata malaikat maut hanya menyapaku saja. Aku berhasil menghentikan sepeda motorku dipinggir jalan. Nafasku terengah-engah. Jantungku berdegup tak karuan. Setelah merasa agak tenang, kulanjutkan lagi perjalanku. Tapi emosiku meledak-ledak, ingin sekali aku menghajar sopir truk itu. Kenapa terpalnya tidak diikat dengan kuat? Itu berbahaya sekali!
            Sesampainya di rumah,aku segera membuka kulkas dan menenggak habis air putih dalam botol.
            “Habis jongging ya Will? Kamu berniat diet ya sekarang? Bagus-bagus..” tanya ibu sambil memutar-mutar tuning radio tua kesayangannya.
            “Aku hampir mati Bu,”jawabku sambil menyelonjorkan kaki di lantai.
            “Kok bisa?” wajah wanita berbadan kurus itu terlihat khawatir.
            “Tadi aku habis nabrak batu kapur segede helm,”
            “Batu darimana?”
            “Jatuh dari truk, terpalnya nggak ditali, batunya pada jatuh di depanku. Huhhh…pengen banget aku nonjok muka sopirnya. Kalau perlu aku cekik sekalian biar mampus,” omelku penuh emosi.
            “Terus batunya dimana?
“Ya di jalan”
“Kenapa nggak kamu singkirkan batu-batu itu dari jalan? Kamu kan masih diberi hidup, apa salahnya menyelamatkan kehidupan orang lain juga? Kasihan kan kalau ada orang yang nggak tahu ada batu di jalan, terus ditabrak.” cecar ibuku sambil merengut. Kemudian wanita itu bangkit meninggalkanku.
            Mendengar rentetan pertanyaan ibu, aku seperti tersambar petir di siang bolong. Sayup-sayup kudengar siaran dari radio yang ditinggalkan ibu bahwa telah terjadi kecelakaan beruntun di jalan Ahmad Yani. Itu jalan yang kulewati tadi. Seketika itu juga tubuhku terasa lemas dan  ambruk di lantai. Kulihat malaikan maut mengintip dari balik pintu.

Ika Fari
22 Februari 2012
Istana Peri
           

Monday, 13 February 2012

Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta


Pengarang                   :           Muhidin M. Dahlan
Penerbit                       :           Jendela  (Yogyakarta)
Ukuran Halaman         :           12 x 18 cm
Jumlah Halaman          :           356
Tahun Terbit                :           2003
                Sebenarnya, saya mendapat pinjaman buku ini secara tidak sengaja. Sebelumnya memang saya dan seorang teman mengobrolkan tentang beberapa pengarang dan pemikirannya. Dan nama Muhidin M. Dahlan muncul sebagai salah satu topik obrolan kami lantaran namanya ada di salah satu artikel yang dikliping oleh temanku tersebut.
                Penulis yang biasa disapa Gus Muh ini, kata temanku, adalah seorang penggemar beratnya Pramoedya Ananta Tour. Terbukti dari beberapa resensinya yang dimuat selalu menyangkutkan Mbah Pram. Nah…dari situ barulah aku tahu sedikit tentang Gus Muh.
                Terlepas dari bagaimana saya bisa meminjam buku ini, ternyata buku berukuran 12x8 cm ini cukup memiliki magnet untuk menarik saya. Padahal waktu itu ada tiga buku lain ada di hadapanku. Ya…sayapenasaran dengan gambar pertokoan tua disampul depan yang kemudian saya tahu kalau itu adalah  kartu pos “Malioboro Street, Djogdjakarta 1938. Begitu yang tertulis di halaman sampul.
                Nah…itu dia…saya suka sekali hal-hal yang berbau Jogja. Dan dengan buku ini saya seolah dibawa melesat ke Jogja dan merasakan atmosfer Jogja kala itu. Gus Muh yang dengan gayanya yang realis berhasil membius saya untuk membaca buku ini sampai selesai.
***
                Ketika membaca Catatan Pembuka Transkiptor, ada sepenggal kalimat yang membuat saya merenungi kata-katanya :
“Scripta manent verba Volant-yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin”
Lagi…lecutan untuk menulis. Sebegitu besarkah kekuatan tulisan? Ahh..tapi kalau dipikir-pikir memang benar. Memori manusia memang sangat terbatas, dan untuk membantu kinerja memori, kita butuh catatan, butuh tulisan. Bukan begitu?
Masih dibagian awal tersebut, penulis cukup membuat saya tersenyum-senyum dengan gaya penulisannya yang blak-blakan dan menggelikan, tak jarang dia mengeluarkan umpatan yang alami, tidak terkesan dibuat-buat.
Di Pengakuan Kesatu (keseluruhan, ada 12 pengakuan), penulis menceritakan masa kecilnya yang sangat jauh dari yang namanya buku bacaan. Diceritakan pula bagaimana kehidupannya yang miskin di daerah pelosok.
Kehidupan yang keras membuatnya harus bekerja memetik cengkeh untuk membeli buku cetak (sebutan untuk buku pelajaran sekolah yang dipakai acuan oleh gurunya). Di masa itu ia menyebut dirinya mempunya tiga rabun sekaligus. Rabun membaca, rabun menulis, dan rabun berhitung lantaran dalam semua pelajaran dia hanya mengandalkan hafalan sedangkan sebenarnya ia sama sekali tidak mengerti yang diajarkan di sekolah waktu itu. Meski menyandang tiga rabun sekaligus, ia lulus dengan predikat terbaik di tiga kecamatan.
Kerabunannya berangsur-angsur sembuh ketika dia melanjutkan sekolah ke STM di kota. Dari situ ia mulai mengenal buku bacaan dan ikut organisasi. Kegandrungannya akan buku mulai menjadi ketika ia kuliah di Jogja, dengan uang pas-pasan dari kampung halamannya, ia bukannya kuliah dengan serius tapi malah membelanjakannya untuk membei buku dan sisanya untuk makan.
Dan ketika masuk keredaksian Majalah Kampus, dia mulai belajar menulis. Awalnya dia hanya menyalin dari buku dengan beberapa tambahan. Tapi semangatnya untuk menulis begitu menggebu, dia sering menulis ke Koran, dan sering pula ditolak. Meski begitu tak ada kata menyerah untuk menulis. Baginya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa selain menulis.
Hingga kemudian dia ditawari temannya bekerja di penerbitan, dengan gaji yang sangat kecil dia mengabdikan diri di penerbitan tersebut. Hingga kuliahnya pun keteteran dan di DO. Tapi konflik dengan atasannya terjadi dan dia keluar hingga ditawari di sebuah penerbitan, kondisinya pun tak jauh beda. Cerita berakhir tanpa ada keberhasilan dalam diri si Aku dalam cerita tersebut.
Tapi ada yang begitu menarik di tulisan ini, semangat si Aku yang luar biasa dalam dunia buku dan tulis menulis patut diacungi jempol. Meski dalam kondisi yang serba kekurangan, bahkan kemana-mana ia hanya ditemani sepeda bututnya, ia tidak pernah berhenti menulis. Saya tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada saya. Semangant saya belum seujung kukunya.
Overall, banyak yang bisa diambil dari buku ini, terutama tentang dunia penerbitan yang ada di Jogja. Seperti yang di tulis tangan oleh Gus Muh sendiri di halaman depan “Penerbit Jogja itu aneh dan lucu-lucu.”
(Saya semakin ingin menghabiskan sisa umur saya di Jogja…)

Ika Fari
11 Februari 2012
Gubuk Peri

Tuesday, 7 February 2012

Menguburku

Diam memelihara kediaman
Beku memelihara kebekuan
Tapi aku tak berniat beranjak
Biarkan saja aku terinjak

Pekat itu mengabut
Pandanganku turut mengabur
Biar saja berjelaga
Perlahan aku terkubur

Terima kasih untuk lambaian itu
Cukup kau menikamku
Aku yakin kau takkan mencariku
Bahkan ketika tanah jadi temanku
 

Taman Peri
07 Februari 2012

Saturday, 4 February 2012

Suwoto, Pengusaha Belimbing di Ngringinrejo, Kalitidu

Sarjana Teknik Industri Memilih jadi Petani
   
Berawal dari lowongan menjadi kamituo di desanya, Suwoto mau tak mau menyelami bidang yang berbeda dengan latar belakang pendidikannya. Menjadi petani belimbing. Bersama warga desa, ia mengembangkan segala hal yang berhubungan dengan belimbing.
   
   Ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitudu, Kabupaten Bojonegoro, pohon-pohon dengan buah kuning bergelantungan mulai menyambut kami. Hawa sejuk mulai merasuk dan mata dimanjakan oleh ratusan pohon belimbing yang tertanam rapi berjejer di perkebunan belimbing tersebut. Pohonnya tidak begitu tinggi dan tidak rimbun. Buahnya juga tidak terlalu banyak, maklum, belum musim panen. Tapi di setiap pohon masih ada beberapa buah belimbing yang ranum dan besar. Membuat siapa saja yang melihat tergiur untuk menikmatinya. Disana, kami disambut oleh seorang pria kurus berkulit coklat.
    Penampilannya sangat bersahaja. Memakai celana abu-abu yang dilipat sampai di atas mata kaki, kaos warna coklat bertuliskan ‘Sub Gasolin’ yang sudah pudar warnanya, topi coklat hitam bertuliskan ‘ Oukley’, beserta tas warna coklat yang compang-camping  dan resletingnya sudah rusak. Ketika pertama kali melihat, pasti tidak menyangka bahwa dia adalah Suwoto, pemilik 380 pohon belimbing di desa Ngringinrejo, Kalitidu, Bojonegoro.
    Woto, begitu ia akrab disapa, begitu ramah dan terbuka menjawab pertanyaan dari  anggota kelas menulis Sanggar Guna yang bertandang ke kebun belimbing miliknya minggu lalu (29/1). Semua pertanyaan yang diajukan dijawab dengan tegas dan sangat jelas.
Kendati tidak ada yang istumewa dari penampilannya, pengetahun tentang segala hal yang berhubungan dengan belimbing patut diacungi jempol. Mulai dari proses penanaman awal, pemupukan, pemeliharaan, pengembangan, pembuatan pupuk, dan pemanfaatan belimbing.
    Pria yang pernah menimba ilmu di Fakultas Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Malang ini menjelaskan bahwa awalnya belimbing-belimbing di Ngringinrejo berasal dari belimbing di Siwalan, Tuban, yang dibawa oleh mbah Suyoto dan mbah Nur.  Dulu, lahan seluas 19,3 ha ini ditanami palawija, namun mulai tahun 1984 mulai ditanami pohon belimbing. Dan sejak tahun 1992 seluruh lahan ditanami pohon belimbing.
    Pohon belimbing yang ditanam tersebut tidak serta merta menghasilkan panen yang memuaskan.”Setelah empat tahun, pohon-pohon disini baru mulai menampakkan hasil,” jelas pria yang menjabat sebagai kamituo di desanya ini.
    Pria yang memiliki 380 pohon belimbing ini menuturkan bahwa seluruh kegiatan perkebunan belimbing dikerjakan oleh warga desa sendiri. Mulai dari penanaman, pemanenan, hingga pemasaran.
Ketika ditanya berapa penghasilannya, Woto  tidak menjelaskan secara gambling berapa nominal penghasilannya. Pria kurus ini menjelaskan bagaimana perhitungannya. Setiap pohon menghasilkan 70 kg belimbing per panen dikali harga belimbing saat itu. Dari pendapatan tersebut, 20 persennya digunakan untuk menggaji karyawannya yang berjumlah 34 orang .Gaji yang diberikan kepada karyawannya pun tak bisa dibilang kecil. Berkisar antara Rp 750.000 hingga Rp 1.500.000 per bulan.
Belimbing yang dihasilkan oleh perkebunan belimbing Ngringinrejo ini sudah diuji di Laboratorium Ketahanan Pangan. Dan hasilnya menunjukkan bahwa buah belimbing tersebut bebas dari unsur pestisida, karena memang pupuk yang digunakan adalah pupuk organik. Sehingga buah yang dihasilkan lebih empuk dan enak.
Mengenai hasil panennya sendiri, belimbing yang dihasilkan dinamain Dewo, berasal dari kata gede tur dowo (besar dan panjang).  Dewo sendiri dibagi menjadi dua. Dewo 1 yang paling besar dan panjang, sedangkan Dewo 2 ukurannya sedikit lebih kecil dari Dewo 1.
Selain itu, buah yang dihasilkan juga dibagi per kelas. Ada kelas super, yang biasa disebut Dewo 1, kelas A atau Dewo 2, dan kelas B yang ukurannya kecil-kecil.
Mengenai pemasaran, di desanya sudah ada tim pemasaran yang kebanyakan adalah pemuda desa tersebut. Belimbing-belimbing tersebut dialokasikan ke hampir seluruh pasar di kabupaten bojonegoro. Bahkan ada juga pesanan dari luar kota bojonegoro.
Tak hanya menjual belimbing dalam bentuk buah asli saja. Dengan kekreatifan warga, belimbing-belimbing tersebut diolah menjadi berbagai jenis makanan dan minuman. Seperti kerupuk, dodol, selai, sirup dan sari buah belimbing. Semua itu bisa didapatkan di galeri khusus yang dibuat untuk promosi hasil olahan belimbing.
Namun, seperti halnya usaha lain. Perkebunan belimbing ini pernah mengalami stagnasi saat banjir tahun 2008 lalu. Karena pohon-pohonnya terendam setinggi hamper 3 meter selama 8 hari, maka mereka mengalami gagal panen selama setahun. Namun keadaan tersebut dapat diatasi, karena meskipun daun-daunnya rontok, pohon-pohon yang terendam tidak sampai mati.
Untuk evaluasi dan saling belajar, setiap 36 hari sekali para warga berkumpul. Dari kegiatan tersebut mereka dapat saling berbagi ilmu dan membina kerukunan untuk memajukan desanya. Berkat usaha dan kerja keras warganya dalam mengembangkan perkebunan belimbing, kini desa Ngringinrejo dijuluki Kampung Belimbing. Yang telah mengharumkan nama kota Bojonegoro.

Ika Fari
04 Februari 2012
Benteng Peri

Suka Olahraga Tidak sih Anak Sekarang? (Depthnews Tim 1 untuk Bloc Bojonegoro Goes to School)

Suka Olahraga Tidak sih Anak Sekarang?
Senangnya melihat anak-anak SD berlenggak-lenggok dengan riangnya di halaman sekolah. Benar-benar lucu dan menggemaskan. Eits…mereka tidak sekedar berlenggak-lenggok lho…setiap pagi, di setiap sekolah dasar diadakan senam pagi bersama. Tujuannya tentu saja agar anak-anak lebih sehat dan bersemangat menerima pelajaran di sekolah.
Anak-anak SD dan Madrasah Ibtidaiyah di Kabupaten Bojonegoro ini ternyata senang sekali berolahraga. Terbukti, dari polling Tim Goes to School (GtS), 100 persen blocker Gts mengaku suka berolahraga.
Alasannya pun beragam. Seperti yang diungkapkan Fikram Dzaki M, siswa SDN Kauman 1 Bojonegoro. Anak yang biasa disapa Fikram ini mengaku suka berolahraga karena selain sehat juga bisa membuat badan kekar. 
Jawaban menggelikan lain datang dari Rose Diantika Rini.  Ketika ditanya alasan mengapa menyukai olahraga, dengan entengnya Dian menjawab,“Karena bisa melatih kelenturan tubuh,” jelas siswi SDN Kadipaten 2 ini dengan polosnya.
Ketika ditanya olahraga apa yang disukai mereka, jawabannyannya pun beragam. Dan yang menjadi olahraga favorit blocker GtS adalah olahraga renang. Alasannya, selain untuk meninggikan badan, olahraga air ini juga bisa melatih pernafasan.
Favorit kedua adalah sepakbola, olahraga yang juga menjadi olahraga nomer satu di dunia ini juga cukup digemari blocker Gts, rata-rata mereka mengaku ingin seperti pemain bola favoritnya. Kemudian,  yang menduduki peringkat ketiga polling tim GtS adalah olahraga basket. Karena dimata mereka, olahraga basket telihat begitu keren dibanding olahraga lain.
Meskipun 100 persen blocker menyukai olahraga, namun 54 persen blocker mengaku belum pernah ikut kompetisi apapun dalam bidang olahraga. Dan hanya 46 persen blocker saja yang pernah ikut kompetisi. Menurut 46 persen blocker tersebut, dengan ikut kompetisi, mereka bisa mendapatkan banyak teman dan menguji nyali mereka.
Seperti yang diungkapkan Rezza Oktavianti. Anak perempuan bertubuh tambun ini mengaku pernah ikut POR SD dalam cabang olahraga panahan tahun 2011 lalu. Tidak tanggung-tanggung, dalam kompetisi tersebut siswi SDN Kauman 1 Bojonegoroini telah menyabet dua medali perunggu dan tiga medali perak. Siswi kelas 6 ini merasa senang bisa membanggakan orang tua dengan prestasi yang diraihnya tersebut.
Hal senada diungkapkan oleh Patrick, meski siswa SD Santo Paulus ini hanya ikut kompetisi catur tingkat sekolah, ia merasa sangat senang. Pasalnya, dengan ikut kompetisi, ia bisa melatih keberanian dan kemampuan dalam memainkan olahraga favoritnya tersebut.

JUMLAH BLOCKER : 140
    70 CEWEK (50%)
    70 COWOK (50%)
SUKA OLAHRAGA?
SUKA    :    140 (100 %)
TIDAK    :    0 (0 %)
OLAHRAGA FAVORIT:
    RENANG    :    33
    SEPAK BOLA    :    31
    BASKET    :    18
    LAIN-LAIN    :    58
PERNAH IKUT KOMPETISI?
    BELUM    :     75 (46 %)
    PERNAH    :    65 (54 %)

   
   


    Dukungan Berolahraga
Prestasi olahraga anak SD di Bojonegoro cukup membanggakan, ini terbukti dari POR SD/MI yang diselenggarakan di Sidoarjo pada  tanggal 21 s/d 26 november 2011, Menduduki peringkat 6 dari 38 kota / kabupaten se Jawa Timur.
Prestasi gemilang yang diraih oleh para siswa ini tak lepas dari orang – orang di sekitarnya serta fasilitas yang ada. Dalam hal ini khususnya orang tua, sangat berpengaruh bagi mereka. Orang tua harus selalu mendukung minat bakat anak agar hal tersebut bisa menjadi prestasi membanggakan. Seperti yang di ungkapkan M Rozi orang tua Intan, salah seorang anak yang berlatih di gedung Perdana Jaya. Dia selalu memberi motivasi kepada anak – anaknya agar mengembangkan bakat yang dimilikinya, serta merealisasikan dukungan tersebut dengan mengantar putrinya berlatih.
“Walaupun rumah saya jauh, saya siap mengantarkan Intan tiga kali seminggu  ke gedung tenis meja ini,” ujar pria asal Singgahan, Tuban ini.
Dukungan yang sama juga disampaikan oleh kepala sekolah SDN Kauman 1, kecamatan kota, Nurasih. Dikatakan bahwa dia akan mendukung apapun yang dilakukan, agar bisa membuat nama baik sekolahnya  terkenal, “Pokoknya saya selalu mendukung apapun yang dilakukan untuk mengharumkan nama baik sekolah ini,” ujar perempuan berjilbab ini.
Back up serupa juga dilakukan oleh Suratmi. Guru olahraga SDN Kauman ini menjelaskan bahwa dia sibuk mengatur jadwal untuk anak didiknya. Bahkan perempuan paruh baya ini menjelaskan bahwa akan ada hari yang dikhususkan untuk kegiatan ekstrakurikuler pagi, “ SDN Kauman 1 ini mulai besok sabtu ada hari khusus, maksudnya non pelajaran. Pada hari itu full digunakan untuk anak yang ingin berprestasi, istilahnya asah minat bakat,” tegas wanita dengan tinggi badan 151 cm tersebut. Hal ini dilakukan agar anak didik tidak ketinggalan pelajaran juga tidak mengabaikan olahraganya.
Selain pihak orang tua dan sekolah yang telah mendukung prestasi olahraga. Muhni, salah satu pelatih tenis meja di gedung Perdana Jaya, selalu stand by di gedung yang berada di jalan Lettu Suyitno no. 67, Bojonegoro. Latihannya sendiri dimulai jam tiga sore hingga menjelang maghrib. Dari hari senin sampai sabtu. Untuk memberikan pelatihan kepada anak yang berminat mengembangkan bakatnya di bidang tenis meja.
Muhni bertugas membina anak yang baru berlatih tenis meja, di gedung yang berada dekat tambang pasir Mulyoagung tersebut. Ada beragam usia dan kalangan yang belajar tenis meja. Mulai dari usia SD, SMP, SMA, bahkan ada juga yang dari SLB. Pria dengan gaya cool ini mengaku kesulitan melatih anak – anak pemula yang ingin belajar. “Kuncinya harus sabar Mas,” tegasnya. 
Dengan berbagai prestasi olahraga siswa SD ini, dinas pendidikan merespon positif. Sahari, kasi diklat Dinas Pemuda dan Olahraga, sering memberi pelatihan dan motifasi kepada sejumlah sekolah di Bojonegoro. Agar sekolah mempunyai atlet binaan dan menambah nilai plus  klub – klub olahraga.
“Jadi setiap ada kegiatan olahraga selalu update, agar tidak ketinggalan. Saya juga sering mengajak rekan-rekan sharing mengenai kemajuan prestasi olahraga di Bojonegoro,” jelas pria berkacamata ini.
Dukungan yang dilakukan dari berbagai pihak ini ternyata membuahkan hasil yang cemerlang, terbukti kota Bojonegoro dalam mengikuti POR SD – MI yang diadakan di Sidoarjo mampu meraih 4 medali emas, 3 medali perak dan 3 medali perunggu.


Melihat Sisi Lain di Balik Sang Jawara Tenis Meja di Bojonegoro
Berawal dari dukungan berbagai pihak di sekitarnya, prestasi belum sepenuhnya dapat maksimal jika tanpa sarana yang juga seirama. Namun dengan adanya fasilitas yang mendukung, seperti sarana Gedung Olah Raga atau yang biasa dikenal dengan GOR. Para atlet  di Bojonegoro khususnya tenis meja tidak semudah itu  dapat mencapai puncaknya. Hal ini dapat kita lihat bahwa segudang prestasi yang di miliki Kota Ledre ini, tidak terlepas dari induknya.
Begitu pula dengan Gedung Perdana Jaya dan Gedung 369. Gedung ini sudah sangat terkenal. Atlet  dari sekolah di Kabupaten Bojonegoro  yang pernah menjuarai olahraga Bulu tangkis dan tenis meja pasti tahu. Soalnya itu tempat mereka berlatih tiap hari.
Nah, gedung Perdana Jaya itu tempat belatihnya atlet pemula yang ingin bisa tenis meja. Gedungnya luas, disana ada robotnya. Ada 6 buah meja yang dipakai mengasah anak didiknya. Di sana juga ada pelatih yang tidak diragukan lagi kemampuannya. Dan tentu saja kepeduliannya kepada siapa saja yang ingin bisa.
PJ adalah nama keren dari gedung  Perdana Jaya yang beralamat di Jalan Lettu Suyitno nomor 67 Bojonegoro. Terletak di desa Margomulyo, sekilas memang tempatnya terlihat  aneh. Seperti gudang ataupun lahan kosong namun di tengahnya ada bangunan berdiri kokoh berwarna Putih. Bangunan itu di kelilingi oleh gundukan pasir yang mulai ditumbuhi rumput liar. Di  halaman depannya juga terdapat bengkel mobil. Gubuk berpintu besi  itulah yang mengantarkan atlet tenis meja pemula hingga bisa menuju ke gedung 369.
     Tempat ini telihat sepi karena pagi hari dan orang yang baru lewat mungkin tidak tahu ini tempat apa. Karena, kalau pagi memang belum buka. Sementara jam bukanya adalah jam 3 sore sampai jam 6 sore.” Bagi yang memiliki bakat terpendam tentang tenis meja atau yang ingin bisa, jangan pernah merasa malu untuk berlatih di tempat itu,” ungkap Mubarak, salah satu pelatih yang ada di PJ.

Gedung 369
Siapa sih yang nggak kenal, dari anak SD hingga orang petingi-petinggi di Bojonegoro semua tahu. Ini adalah GOR-nya orang tenis meja dan Bulu tangkis. Hal ini di ungkapkan oleh bapak M. Muslih, pengelola gedung 369, “sini itu sudah terkenal, meskipun belum lama berdiri. Soalnya ini sering dipakai oleh orang2 terkenal. Mulai bupati, kapolres, pejabat-pejabat juga banyak yang datang.”
 ini memang terlihat seperti gudang atau pabrik. Pasalnya kawasan jalan WR Supratman itu di dominasi dengan kawasan pergudangan. Ini dapat kita lihat bahwa depan gedung ada juga gudang tembakau milik PT Gudang Garam. Sedangkan tepat di  belakangnya terdapat gudang juga yaitu gudang milik Bentoel Biru dan sebelah kirinya adalah tempat pembloweran beras.
Namun hal itu juga tidak membingungkan para olahragawan tenis meja yang ingin mengasah kemampuannya. Bahkan mulai tahun 2012, pengelola menceritakan bahwa ia setiap hari selalu stand by di sini. Ia menjelaskan, bahwa sewaktu-waktu bupati atau ada kapolres, pejabat dan dokter yang ingin berlatih ia tidak perlu bolak-balik dari rumahnya yang berada di Dander.

Ada siapa dalam gedung?
Bagi atlet tenis meja, pasti akrab dengan mantan atlet nasional Clasius Lolobua. Ia adalah pelatih yang didatangkan oleh pemilik Perdana Jaya yaitu bapak Handoko. Laki-laki alumni Fakultas Hukum UGM angkatan 86 ini menjelaskan bahwa dirinya disini diminta untuk melatih anak bojonegoro yang ingin bisa tenis meja dan membina anak yang memiliki bakat di bidang ini.
“Yang di sini semua anak-anak juga berawal dari nol (baca : tidak bisa sama sekali), tetapi mereka ini punya semangat tinggi. Yang tidak kalah penting, juga harus mendapatkan dukungan penuh baik dari sekolah maupun keluarga. Karena kedua pihak itu diharapkan bisa mengerti kalau ada turnamen, dan harus latihan rutin. Dan motivasi serta dispensasi selalu diberikan untuk anak didik yang hendak ikut bertanding,” ungkap pria asal Makasar itu.
Untuk saat ini, atlet binaan yang dilatih oleh pria berusia 53 itu ada 15 anak. Mereka semua berasal dari berbagai daerah. Namun hal tersebut mendapat acungan jempol, karena atlet yang ia bina adalah atlet yang mampu meraih target juara.
Turnamen terakhir  diikuti  adalah Piala Dwi Bengawan Solo, yang pesertanya meliputi seluruh Jawa. Acara itu baru saja dilaksanakan tanggal 22 s/d 23 Januari 2012 kemarin. Sebagai juara pertama kadet putra yang di raih oleh Zahru, Siswa SMA 3. Tak hanya itu, Zahru, yang baru menginjak SMA ini juga sekaligus menggaet juara 3 ujntuk tunggal putra. Digi, peraih juara 1 kadet putri juga membawa nama baik Bojonegoro dalam ajang tersebut.
     Kemudian, yang kedua Piala TVRI Nasional tanggal 15 s/d 18 September di Semarang. Turnamen ini di ikuti oleh Sandy, juara 1 kadet putra dan Zahru kadet putra yang mendapatkan juara keduanya. Berdasarkan catatan prestasi yang diperoleh atlet, selama dua tahun ini selalu mengikuti pertandingan dan hampir selalu mendapatkan juara. Meskipun pernah sekali ada turnamen yang tidak mendapat apa-apa saat big match, namun hal tersebut selalu menjadi motivasi untuk para atlet agar lebih giat berlatih.
“Hampir setiap bulan ada turnamen, dan kami juga selalu ikut. Ini saja kemarin baru saja pulang langsung intensif latihan,” cerita mantan atlet nasional.

Melihat Sisi Lain di Balik Sang Jawara Tenis Meja di Bojonegoro
Berawal dari dukungan berbagai pihak di sekitarnya, prestasi belum sepenuhnya dapat maksimal jika tanpa sarana yang juga seirama. Namun dengan adanya fasilitas yang mendukung, seperti sarana Gedung Olah Raga atau yang biasa dikenal dengan GOR. Para atlet  di Bojonegoro khususnya tenis meja tidah semudah itu  dapat mencapai puncaknya. Hal ini dapat kita lihat bahwa segudang prestasi yang di miliki Kota Ledre ini, tidak terlepas dari induknya.
Begitu pula dengan Gedung Perdana Jaya dan Gedung 369. Gedung ini sudah sangat terkenal. Atlet  dari sekolah di Kabupaten Bojonegoro  yang pernah menjuarai olahraga Bulu tangkis dan tenis meja pasti tahu. Soalnya itu tempat mereka berlatih tiap hari.
Nah, gedung perdana jaya itu tempat belatihnya atlet pemula yang ingin bisa tennis meja. Gedungnya luas, disana ada robotnya. Ada 6 buah meja yang dipakai mengasah anak didiknya. Di sana juga ada pelatih yang tidak diragukan lagi kemampuannya. Dan tentu saja kepeduliannya kepada siapa saja yang ingin bisa.
PJ adalah nama keren dari gedung  Perdana Jaya yang ber alamat di Jalan lettu Suyitno nomor 67 Bojonegoro. Terletak di desa Margomulyo,sekilas memang tempatnya terlihat  aneh. Seperti gudang ataupun lahan kosong namun di tengahnya ada bangunan berdiri kokoh berwarna Putih.. Bangunan itu di kelilingi oleh gundukan pasir yang mulai ditumbuhi rumput liar. Di  halaman depannya juga terdapat bengkel mobil. Gubug berpintu besi  itulah yang mengantarkan atlet tenis Meja pemula hingga bisa menuju ke gedung 369.
     Tempat ini telihat sepi karena pagi hari dan orang yang baru lewat mungkin tidak tahu ini tempat apa. Karena, kalau pagi memang belum buka. Sementara jam bukanya adalah jam 3 sore sampai jam 6 sore.” Bagi yang memiliki bakat terpendam tentang tenis meja atau yang ingin bisa, jangan pernah merasa malu untuk berlatih di tempat itu,” ungkap , salah satu pelatih yang ada di PJ.



Berprestasi di Olah Raga, Jeblok di Pelajaran
Seorang anak yang berprestasi dalam bidang olah raga pastinya sangat membanggakan. Namun bagaimana dengan nilai pelajarannya di sekolah?
    Fenomena yang terjadi, anak yang prestasinya di bidang olah raga cemerlang, namun di pelajarannya di sekolah nilainya biasa-biasa saja, bahkan ada yang jeblok.
    Semua tergantung dari diri anak tersebut. Memang ada tipe anak yang prestasi di bidang olah raganya bagus, namun di pelajarannya biasa saja. Ada juga yang nilai akademiknya bagus, namun tidak memiliki prestasi di bidang non akademik. Bahkan ada juga yang non akademik berprestasi, akademiknya juga berprestasi.
    Seperti yang di ungkapkan guru olah raga di MINU, bahwa memang ada anak yang lebih menonjol prestasinya di salah satu bidang.
    “Misalkan di sekolah ini, ada anak yang berprestasi di olah raga bulu tangkis, namun nilai pelajarannya biasa saja. Ada juga anak yang lebih menonjol di pelajaran, namun tidak mempunyai prestasi di bidang lainnya. Ada kelebihan, ada juga kekurangan, dan keduanya saling mengisi,” papar guru yang tidak mau disebutkan namanya tersebut.
Untuk mengimbangkan antara prestasi akademik dan non akademik, tak lepas upaya dari sekolah untuk memberikan tambahan pada siswa yang kebetulan mengikuti event waktunya bersamaan dengan waktu pelajaran di sekolah.
    Seperti yang dipaparkan oleh Sony Alpha Prasetya, guru olah raga di SDN Kadipaten II, bahwa ketika siswa sedang ada kompetisi bersamaan dengan waktunya belajar di sekolah, maka akan diberikan tambahan bimbingan belajar.
    “Agar pelajarannya tidak tertinggal ketika siswa sedang mengikuti pertandingan pas jam pelajaran, maka akan diberikan les di sore hari. Jadi pelajaran mereka tidak tertinggal dari yang lainnya.” jelas bapak satu anak ini.
    Tingkah laku di sekolah, anak  yang berprestasi sama dengan siswa yang lainnya, tidak sombong ataupun memilih-milih teman. Bahkan anak yang berprestasi bisa membantu dalam pelajaran, dan di jadikan contoh untuk teman-temannya. Hal itu yang dilakukan oleh Sony ketika praktik olahraga renang, ia meminta atletnya untuk memberikan contoh dan membantu teman-temannya.
    Mengenai tingkah laku siswa di sekolah, pemerintah telah memberlakukan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berkarakter, di mana setiap kegiatan siswa yang diberikan dapat membentuk karakter siswa. Hal itu dibenaran oleh FX Sugiatmo, kepala sekolah SD Santo Paulus.
“Tingkah laku siswa di sekolah semua sama, tidak ada perbedaan anatara siswa yang prestasi ataupun biasa. Sebelum pemerintah menetapkan pendidikan karakter, di sini sudah terbiasa memberikan pendidikan karakter pada siswa.” Terang pria asal Semarang ini. (Ika F.N.R.Kanapi, Desi S.E., Parto S.)



Surat Untuk Pak Anas AG (Tugas Kelas Menulis Sanggar Guna)

Pak Anas…
Tahu tidak kapan terakhir kali aku menulis surat lewat pos? waktu saya SD, kira-kira kelas 4. waktu itu, kakak laki-lakiku yang seorang anggota TNI sedang bertugas di Papua mengirimi kami surat. Untuk keluargaku dan ada satu surat khusus untukku. Isinya seperti kebanyakan surat lain. Menanyakan kabar. Selebihnya bertanya tentang sekolahku, dan  ada pertanyaan tentang menghitung. Dia tahu kalau aku suka pelajaran matematika. Tapi yang paling ku sukai waktu itu adalah gambar kucing yang sedang mengangkat kertas yang bertuliskan “Dibalas ya…” gambarnya bagus, membuatku bersemangat untuk membalas surat itu. Kakak laki-lakiku memang pandai banyak hal. Termasuk menggambar. Aku berkali-kali mencoba meniru gambar itu, tapi selalu jadi gambar “Kucing Benjoet”. Kenapa ku namai begitu? Karena bentuk si kucing dalam gambarku tidak karuan, kemampuan menggambarku memang pas-pasan. Seperti halnya dengan kemampuan menulisku. Pas-pasan. Tapi aku ingin bisa menggambar lewat tulisan. Hah…
Nah..masalahnya  adalah bagaimana aku membalas surat kakakku? Waktu itu, ketika aku dilanda kebingungan dalam membalas surat,aku minta tolong kakak permepuanku untuk membalaskannya. Tapi dia tidak mau. “Golek nek majalahmu kono lho…,” sambil menunjuk kardus-kardus majalahku. Sejak kelas dua SD aku suka sekali membaca, terutama majalah Bobo. Waktu aku masih belajar membaca, kakakku sudah menyodorkanku majalah Bobo, dan yang paling aku sukai adalah cerita Keluarga Bobo dan Ceritera Dari Negeri Dongeng. Dan karena itu, aku selalu merengek minta dibelikan majalah setiap ibu ke pasar. Karena ibu punya toko di depan rumah. Ibu setiap hari ke pasar. Aku senang sekali ketika ibu pulang dari pasar dan membawa kantong kresek besar berisi majalah. Bukan majalah baru, tapi majalah bekas. Isinya tidak hanya majalah Bobo, tapi ada majalah Ananda dan Mentari Putera Harapan (sekarang Mentari). Tapi jangan tanya kemana majalah-majalah itu sekarang. Karena secara diam-diam ibuku selalu mengambilnyauntuk Buntel Blonjo. Sebenarnya aku sedih sekali setiap majalahku hilang. Tapi ibuku malah mengomeliku, dia bilang “lhawong wis bar mbok woco ae kok.”
Meskipun sambil cemberut, aku menuruti perintah kakak perempuanku untuk mencari di tumpukan majalah. Aku buka halaman awal majalah Bobo, disitu ada rubrik “Apa Kabar BO?”  yang berisi surat-surat dari pembaca. Hmm…aku baca rubrik itu berkali-kali dan kemudian meniru cara Bobo membalas surat itu. Ternyata menulis surat menyenangkan, apa yang biasanya tidak bisa aku tanyakan secara langsung bisa aku tanyakan. Maklum, waktu itu aku takut bertanya pada kakak laki-lakiku secara langsung, karena kami kan jarang bertemu. Dengan bangga aku menyerahkan pada kakak perempuanku. “Nah…kalau mau membaca, semunya ada kan,” begitu katanya.Tapi kemudian kakak perempuanku malah tertawa terpingkal-pingkal melihat gambar “Kucing Benjoet” ku. Menyebalkan…
Sudah 13 tahun aku tidak pernah menulis lewat pos…wah…lama sekali…tapi tunggu dulu. Setelahnya bukan berarti aku tidak pernah menulis surat. Aku sering menulis surat saat teman-temanku atau pacar-pacarku ulang tahun (bukan berarti pacarku banyak, pacarku cuma satu lho…). Tapi tentu saja bukan lewat pos.
Pak anas…
Saat menulis surat ini, aku tidak tahu apa yang ingin aku tulis. Tanganku bergerak sendiri, mengalir saja, seperti kata Pak Dahlan Iskan di bukunya Ganti Hati “Hidup itu mengalir saja seperti air. Tapi kalau bisa alirannya yang kuat.” Sebenarnya aku iri dengan temanku, namanya Bendot, nama aslinya Tohir. Pak Anas sudah kenal dia kan. Dia memamerkan suratnya padaku. Menyebalkan. Menurutku tulisannya bagus. Kok bisa sih dia menulis seperti itu? Ahh…aku benar-benar iri.
Aku ingin sekali bisa menulis seperti kalian, tapi tulisanku selalu pas-pasan. Sepertinya tidak layak dibaca khalayak umum. Mungkin ini yang disebut minder. Bagaimana tidak, sebelumnya aku juga pernah ikut sekolah menulis, tapi disana tulisanku selalu disalahkan. Sebagai penulis pemula, aku selalu dicekoki aturan-aturan menulis yang harus begini, harus begini, yang benar begini, yang begini slah, salah, salah… argghhh… memang disana aku tahu cara menulis yang benar, tapi otakku seperti dibatasi. Tulisanku yang pas-pasan itu jadi seperti sampah. Aku benar-benar minder.
Sebenarnya aku nggak sengaja Pak ikut kelas menulis di Sanggar Guna ini. Waktu itu, di kampus sedang tidak ada mata kuliah. Cuma ngisi KRU saja. Daripada masih pagi langsung pulang, akhirnya aku mampir ke Sanggar Guna, lhakok ada rame-rame. Aku tanya ke mbak petugas (Namanya siapa ya? Nanti kalau ketemu aku akan menanyakannya), katanya ada kelas menulis. Langsung ikut deh…dan begitu ada kesempatan bertanya, aku tanya tentang aturan-aturan menulis itu ke Sampean. Dan jawaban itu membuat semangat menulisku lumayan tersulut. Selain menulis diary di Netty, aku juga nulis tangan di buku harian khusus.
Sekarang, dimana-mana aku selalu bawa buku kecil. Untuk menulis apa saja yang aku lihat. Seperti di bukunya Putu Wijaya yang berjudul UAP. Rasanya menyenangkan menggambarkan sesuatu tanpa perlu menggambar. Aku pernah ditertawakan oleh teman sekantorku gara-gara kedapatan menulis tentang hujan. “Kayak nggak pernah lihat hujan aja,” dia bilang begitu. Kalau musim kemarau datang, bukankah kita selalu merindukan hujan? Siapa tahu dengan membaca sekelumit tulisanku bisa menghapus rindu akan hujan. Paling tidak untuk diriku sendiri.
Memang menulis menyenangkan sekali ya Pak, dulu setiap minggu aku buat cerpen ala kadarnya. Tapi ketika cerpenku selalu salah. Aku semakin jarang menulis cerpen lagi. Sebenarnya ingin, tapi ada saja alasan untuk tidak menulis. Yang kerjaan di kantor numpuklah, yang lemburlah, yang tugas kuliah banyaklah, yang ujian lah, yang capeklah. Bagaimana ya Pak biar aku bisa rajin menulis seperti aku rajin membaca? Setiap hari aku membaca, sehari saja aku tidak membaca, rasanya ada yang hilang dalam hidupku. Biasanya aku baca buku sepulang kerja dan sebelum tidur. Tapi jangan harap aku membaca buku filsafat, politik, atau buku-buku berat lainnya. Membaca buku seperti itu membuat kepalaku pusing.  Setiap hari aku baca buku fiksi, novel, cerpen, puisi, kadang-kadang komik. Sekarang aku mulai keranjingan beli buku. Ahh… semoga aku tidak separah Gilkey di buku The Man Who Love Book Too Much. Dia kan dipenjara gara-gara selalu mencuri buku. Aku suka sekali penulis-penulis wanita seperti Ayu Utami, Lan Fang, Dewi Lestari dan Ratna Indraswari Ibrahim. Bagiku mereka begitu keren. Tulisan mereka selalu membuatku kepincut. Aku benar-benar ingin sperti mereka.
Hemm…Sudah ya Pak Anas, aku senang bisa ikut kelas menulis ini. Aku senang melihat semangat murid-murid kelas menulis. Semangat mereka menulariku. Begitu juga semangat Sampean mengarahkan kami. Semoga apa yang Pak Anas ajarkan bisa bermanfaat bagi kami. Para pemulay ang ingin bisa. Dan memang menulis surat memang metode yang asik untuk latihan menulis. Sudah segini saja ya Pak..harap maklum kalau tulisanku amburadul sekali.

Salam
                       
Paviliun Peri, 24 Januari 2012
IKA FARI