Saturday, 4 February 2012
Mama…Jangan Menangis…
Aku memandangi rumahku, rumah warna merah. Warna kesukaan Mama. Di depan rumah ada satu pohon mangga besar yang sedang tidak berbuah. Pagarnya berwarna coklat, warna kesukaan ayah. Entah kenapa aku merasa pagar itu melambaikan tangan padaku. Motor ayah terus melaju. Rumahku pergi menjauh. Melewati rumah-rumah yang juga berlari menjauh. Leherku sampai sakit, tapi rumahku sudah tak terlihat. Tidak biasanya ayah naik motor sekencang ini. Ayah tidak pernah ngebut saat mengantarku sekolah setiap hari. Aku takut. Tidak biasanya juga ayah diam saja seperti ini. Aku memeluk tubuh kurus ayah erat-erat. Ayah mau mengajakku kemana?
***
“Ayo Sha…sarapannya dihabiskan,” kata Mama sambil berkaca membenahi dandanannya. Mamaku cantik sekali, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, matanya lebar, rambutnya lembut dan selalu wangi. Kalau aku sudah besar, aku ingin seperti Mama.
“Sha udah kenyang Ma,” jawabku sambil menjauhkan piring. Ayah mengambil piring kami dan mencucinya di dapur.
“Mama berangkat kerja dulu ya Sha…,” kata Mama sambil mencium keningku.”Ben…aku berangkat!,”. Beni nama ayahku. Orangnya tinggi, kurus, hidungnya mancung. Tampan, serasi sekali dengan Mama.
Aku memandangi Mama yang begitu anggun dengan pakaian kerjanya, tasnya, sepatu hak tingginya, caranya berjalan. “Jangan nakal ya Sha di sekolah,” itu pesannya setiap hari. Mama tak pernah menungguku bilang iya. Mama itu super sibuk. Begitu kata ayah. Iya, mama memang super sibuk.
Setiap pagi, aku selalu mengikuti Mama sampai halaman depan sambil menunggu ayah selesai mencuci piring. Setelah masuk mobil, Mama pasti membuka jendela dan tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. Aku juga melambaikan tangan kepada mama sampai mobil berwarna merah itu menghilang. Begitu setiap hari.
Mama selalu pulang malam ketika aku sudah tidur. Kata ayah, sepulang dari kantor, mama mengurusi toko bajunya hingga malam. Selain bekerja di bank, mama juga punya toko baju. Aku pernah diajak kesana saat liburan. Tapi Meski mama sibuk, mama sering membelikanku boneka dan baju-baju bagus. Ayah bilang, mama sayang sekali padaku. Aku juga sayang sekali pada mama.
“Pakai sepatumu Sha,” kata ayah sambil meletakkan tas sekolah di sampingku. Aku selalu berangkat sekolah naik sepeda motor bersama ayah. Sepeda motor bebek warna coklat. Ayahku seorang guru SD, tak jauh dari SD tempatku bersekolah, tapi sekolahku jauh lebih bagus dari tempat kerja ayah. Sebenarnya aku ingin berangkat sekolah bersama Mama naik mobil, tapi kantor Mama berlawanan dengan sekolahku. Menyebalkan…
Ayah tak pernah terburu-buru seperti Mama. Tak pernah ngebut. Sering mengajakku bercanda dan bernyanyi. Ayah tak pernah bosan mendengarkan ceritaku. Kata ayah, aku cerewet seperti Mama. Tapi mama jarang di rumah untuk mendengarkan ceritaku. Setiap hari aku selalu bersama ayah. Ayah itu rajin sekali. aku sering membantu ayah menyapu rumah setiap sore. Masakan ayah juga enak, ayah yang memasak setiap hari. Ayahku memang super!!!
***
Sepulang sekolah aku selalu tidur siang. Jam bekerku berteriak membangunkanku tepat jam tiga sore, masih ngantuk sebenarnya. Tapi aku harus membantu ayah menyapu. Ketika berjalan ke arah kamar mandi untuk cuci muka, aku lihat ayah bersama seseorang wanita di dapur. Nggak biasanya jam segini mama sudah pulang. Mama selalu pulang malam. Aku kucek mataku yang masih ngantuk. Itu bukan mama. Siapa dia? Ayah terlihat senang sekali bercanda dengannya. Mereka bercanda sambil memasak. Aku buru-buru ke kamar mandi untuk cuci muka. Barangkali tadi aku salah lihat.
Keluar dari kamar mandi, aku langsung ke dapur.
“Hai…ini Shava ya?” kata wanita itu sambil mencubit pipiku. Ihhh…aku tidak suka dicubit. Aku diam saja.
“Ayo Sha salim sama tante Wina!” kata ayah sambil tersenyum. Aku pandangi wanita berambut pendek yang sedang tersenyum ke arahku itu. Tidak secantik Mama. orangnya pendek, agak gemuk, hidungnya juga pesek. Karena ayah yang meminta, aku ulurkan tanganku pelan-pelan dan mencium tangannya. Begitu yang diajarkan ayah setiap bertemu orang yang lebih tua. Tangannya juga tidak sehalus mama.
“Anakmu pintar ya Ben…” aku langsung pergi mengambil sapu. Lebih baik aku melakukakan tugasku. Aku tidak suka wanita itu. Saat aku hendak keluar rumah untuk bermain, tiba-tiba ayah memanggilku.
“Ayo makan Sha, ini masakan Tante Wina lho…pasti enak,” teriak Ayah.
“Tadi sepulang sekolah Sha kan udah makan Yah…,” teriakku di depan rumah.
“cCba dulu…”kata Ayah sambil menghampiriku dan menggandengku masuk ke ruang makan. Di ruang makan itu hanya ada empat kursi dan satu meja bulat. Taplaknya berwarna merah. Warna kesukaaan mama. ahh…kulihat wanita itu duduk di kursi yang biasanya diduduki mama. enak saja.
“Sha tidak mau makan! Sha tidak suka masakan tante ini!”teriakku sambil berlari ke luar rumah. Entah kenapa aku begitu tidak suka dengan wanita itu. Dia seolah ingin mengambil milik mama, seperti akan menyingkirkan mama.
***
Kenapa sih hari ini ayah begitu menyebalkan? Bahkan ayah tidak mengejarku ketika aku lari. Akhirnya aku bermain ke rumah Sendi sampai maghrib. Sesampainya di rumah, kulihat ayah sedang menonton televisi. Tapi aku diam saja dan berlari menuju kamarku. Kudengar dia memanggilku, tapi aku sudah menutup pintu kamarku rapat-rapat. Saking senangnya ayah dengan wanita itu sampai-sampai ayah tidak memperhatikanku, bahkan dia memperbolehkan kursi mama dipakai wanita itu. Air jatuh dari mataku. Kenapa aku jadi cengeng? Tapi air mataku terus jatuh sampai aku tidur.
Tiba-tiba tengah malam aku terbangun. Berisik sekali di luar. Kutajamkan pendengaranku. Seperti suara ayah. Tapi kenapa keras sekali? Seperti sedang marah. Aku juga mendengar suara mama. pelan-pelan aku turun dari tempat tidur dan membuka pintu. Setelah itu aku mengendap-endap seperti maling ke a ah suara ribut-ribut itu.
Aku berhenti di sofa tempat menonton televisi. Dari sini kulihat ayah dan mama ada di ruang tamu. Ayah terlihat begitu marah. Mama menangis tersedu. Kasihan mama, baru kali ini aku melihat mama menangis. Ayah benar-benar jahat, terus berteriak-teriak entah apa. Terdengar begitu menyakitkan.
Aku takut. Sambil mengendap-mengendap dengan tubuh bergetar aku kembali ke kamarku. Mengunci pintu rapat-rapat. Meringkuk di atas kasur. Aku tidak tidur. Tidak bisa tidur. Ayah yang biasanya selalu baik hati dan tak pernah marah tiba-tiba terlihat begitu mengerikan. Seperti monster. Mama yang biasanya selalu tersenyum sekarang menangis tersedu. Kenapa ayah membuat Mama menangis? Mama kan wanita yang baik. Bayangan ayah dan Mama terus menari di pelupuk mataku.
***
Aku tidak tahu kapan aku tidur. Yang jelas aku gelagapan ketika pintu kamarku digedor keras sekali. kudengar suara ayah memanggil-manggilku.”Sha..bangun Sha…!”teriak ayah.
Dengan malas-malasan aku bangun dan membuka pintu. Ayah segera mengambil tas sekokah warna biru milikku. Melempar buku pelajaran yang sudah aku siapkan kemarin, membuka lemari pakaian, dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas dengan terburu-buru. Aku tidak mengerti kenapa buku-bukuku diganti dengan baju?
Belum sempat aku bertanya, ayah sudah menyodorkankan tasku dan menggandengku dengan kasar ke luar kamar. Ku dengar Mama memanggilku. Aku menoleh. Mama menagis. Tidak secantik biasanya. Dia berlari mengejar kami dan meraih tanganku. Tapi ayah mendorong tubuh Mama dengan kasar hingga terjatuh. Aku ingin menolong mama. tapi aku tidak bisa melepas pegangan tangan ayah. Cengkeramannya begitu kuat.
“Mama jangan menangis..”kataku sambil terus berjalan terseret.
“Jangan tinggalin Mama Sha…mama akan di rumah terus untuk jagain kamu, untuk merawat kamu, mama nggak akan kerja lagi,”teriak mama sambil terus menangis.
Aku melihat ayah, wajahnya yang tirus terlihat begitu mengerikan. Kami berjalan ke arah garasi. “Kamu harus ikut ayah, Mama tak pernah menyayangimu,”kata ayah tanpa memandangku. Dengan gerakan cepat ayah sudah menyalakan sepeda motor. “Ayo naik!”perintah ayah. Aku takut dimarahi ayah. Aku menurut.
Sebelum keluar kulihat Mama melihat kami sambil menangis. Aku sedih sekali. dari semalam mama menangis terus. Kenapa mama tidak berangkat ke kantor? Kenapa aku tidak sekolah? Kenapa ayah tidak mengajar? Aku harus menyakan pada ayah. Ayah yang berubah menjadi jahat. Ahh…aku tidak tega meninggalkan mama yang menangis sendirian. Aku ingin menghapus air matanya. Kalau ayah sudah tidak marah aku mau mengajak ayah pulang lagi. Tunggu aku pulang ya Ma…
Mama…jangan menangis…
Ika Fari
Paviliun peri, 27 januari 2012
Dengan ditemani lagunya Astrid-Mendua yang kuputar berulang-ulang.
Labels:
Coretan Cerita Pendekku
Location:
sukowati
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment