html

- See more at: http://kukuhpw.blogspot.com/2013/02/cara-memasang-button-share-di-side-bar.html#sthash.jmwdAAmM.dpuf

Saturday, 4 February 2012

Surat Untuk Pak Anas AG (Tugas Kelas Menulis Sanggar Guna)

Pak Anas…
Tahu tidak kapan terakhir kali aku menulis surat lewat pos? waktu saya SD, kira-kira kelas 4. waktu itu, kakak laki-lakiku yang seorang anggota TNI sedang bertugas di Papua mengirimi kami surat. Untuk keluargaku dan ada satu surat khusus untukku. Isinya seperti kebanyakan surat lain. Menanyakan kabar. Selebihnya bertanya tentang sekolahku, dan  ada pertanyaan tentang menghitung. Dia tahu kalau aku suka pelajaran matematika. Tapi yang paling ku sukai waktu itu adalah gambar kucing yang sedang mengangkat kertas yang bertuliskan “Dibalas ya…” gambarnya bagus, membuatku bersemangat untuk membalas surat itu. Kakak laki-lakiku memang pandai banyak hal. Termasuk menggambar. Aku berkali-kali mencoba meniru gambar itu, tapi selalu jadi gambar “Kucing Benjoet”. Kenapa ku namai begitu? Karena bentuk si kucing dalam gambarku tidak karuan, kemampuan menggambarku memang pas-pasan. Seperti halnya dengan kemampuan menulisku. Pas-pasan. Tapi aku ingin bisa menggambar lewat tulisan. Hah…
Nah..masalahnya  adalah bagaimana aku membalas surat kakakku? Waktu itu, ketika aku dilanda kebingungan dalam membalas surat,aku minta tolong kakak permepuanku untuk membalaskannya. Tapi dia tidak mau. “Golek nek majalahmu kono lho…,” sambil menunjuk kardus-kardus majalahku. Sejak kelas dua SD aku suka sekali membaca, terutama majalah Bobo. Waktu aku masih belajar membaca, kakakku sudah menyodorkanku majalah Bobo, dan yang paling aku sukai adalah cerita Keluarga Bobo dan Ceritera Dari Negeri Dongeng. Dan karena itu, aku selalu merengek minta dibelikan majalah setiap ibu ke pasar. Karena ibu punya toko di depan rumah. Ibu setiap hari ke pasar. Aku senang sekali ketika ibu pulang dari pasar dan membawa kantong kresek besar berisi majalah. Bukan majalah baru, tapi majalah bekas. Isinya tidak hanya majalah Bobo, tapi ada majalah Ananda dan Mentari Putera Harapan (sekarang Mentari). Tapi jangan tanya kemana majalah-majalah itu sekarang. Karena secara diam-diam ibuku selalu mengambilnyauntuk Buntel Blonjo. Sebenarnya aku sedih sekali setiap majalahku hilang. Tapi ibuku malah mengomeliku, dia bilang “lhawong wis bar mbok woco ae kok.”
Meskipun sambil cemberut, aku menuruti perintah kakak perempuanku untuk mencari di tumpukan majalah. Aku buka halaman awal majalah Bobo, disitu ada rubrik “Apa Kabar BO?”  yang berisi surat-surat dari pembaca. Hmm…aku baca rubrik itu berkali-kali dan kemudian meniru cara Bobo membalas surat itu. Ternyata menulis surat menyenangkan, apa yang biasanya tidak bisa aku tanyakan secara langsung bisa aku tanyakan. Maklum, waktu itu aku takut bertanya pada kakak laki-lakiku secara langsung, karena kami kan jarang bertemu. Dengan bangga aku menyerahkan pada kakak perempuanku. “Nah…kalau mau membaca, semunya ada kan,” begitu katanya.Tapi kemudian kakak perempuanku malah tertawa terpingkal-pingkal melihat gambar “Kucing Benjoet” ku. Menyebalkan…
Sudah 13 tahun aku tidak pernah menulis lewat pos…wah…lama sekali…tapi tunggu dulu. Setelahnya bukan berarti aku tidak pernah menulis surat. Aku sering menulis surat saat teman-temanku atau pacar-pacarku ulang tahun (bukan berarti pacarku banyak, pacarku cuma satu lho…). Tapi tentu saja bukan lewat pos.
Pak anas…
Saat menulis surat ini, aku tidak tahu apa yang ingin aku tulis. Tanganku bergerak sendiri, mengalir saja, seperti kata Pak Dahlan Iskan di bukunya Ganti Hati “Hidup itu mengalir saja seperti air. Tapi kalau bisa alirannya yang kuat.” Sebenarnya aku iri dengan temanku, namanya Bendot, nama aslinya Tohir. Pak Anas sudah kenal dia kan. Dia memamerkan suratnya padaku. Menyebalkan. Menurutku tulisannya bagus. Kok bisa sih dia menulis seperti itu? Ahh…aku benar-benar iri.
Aku ingin sekali bisa menulis seperti kalian, tapi tulisanku selalu pas-pasan. Sepertinya tidak layak dibaca khalayak umum. Mungkin ini yang disebut minder. Bagaimana tidak, sebelumnya aku juga pernah ikut sekolah menulis, tapi disana tulisanku selalu disalahkan. Sebagai penulis pemula, aku selalu dicekoki aturan-aturan menulis yang harus begini, harus begini, yang benar begini, yang begini slah, salah, salah… argghhh… memang disana aku tahu cara menulis yang benar, tapi otakku seperti dibatasi. Tulisanku yang pas-pasan itu jadi seperti sampah. Aku benar-benar minder.
Sebenarnya aku nggak sengaja Pak ikut kelas menulis di Sanggar Guna ini. Waktu itu, di kampus sedang tidak ada mata kuliah. Cuma ngisi KRU saja. Daripada masih pagi langsung pulang, akhirnya aku mampir ke Sanggar Guna, lhakok ada rame-rame. Aku tanya ke mbak petugas (Namanya siapa ya? Nanti kalau ketemu aku akan menanyakannya), katanya ada kelas menulis. Langsung ikut deh…dan begitu ada kesempatan bertanya, aku tanya tentang aturan-aturan menulis itu ke Sampean. Dan jawaban itu membuat semangat menulisku lumayan tersulut. Selain menulis diary di Netty, aku juga nulis tangan di buku harian khusus.
Sekarang, dimana-mana aku selalu bawa buku kecil. Untuk menulis apa saja yang aku lihat. Seperti di bukunya Putu Wijaya yang berjudul UAP. Rasanya menyenangkan menggambarkan sesuatu tanpa perlu menggambar. Aku pernah ditertawakan oleh teman sekantorku gara-gara kedapatan menulis tentang hujan. “Kayak nggak pernah lihat hujan aja,” dia bilang begitu. Kalau musim kemarau datang, bukankah kita selalu merindukan hujan? Siapa tahu dengan membaca sekelumit tulisanku bisa menghapus rindu akan hujan. Paling tidak untuk diriku sendiri.
Memang menulis menyenangkan sekali ya Pak, dulu setiap minggu aku buat cerpen ala kadarnya. Tapi ketika cerpenku selalu salah. Aku semakin jarang menulis cerpen lagi. Sebenarnya ingin, tapi ada saja alasan untuk tidak menulis. Yang kerjaan di kantor numpuklah, yang lemburlah, yang tugas kuliah banyaklah, yang ujian lah, yang capeklah. Bagaimana ya Pak biar aku bisa rajin menulis seperti aku rajin membaca? Setiap hari aku membaca, sehari saja aku tidak membaca, rasanya ada yang hilang dalam hidupku. Biasanya aku baca buku sepulang kerja dan sebelum tidur. Tapi jangan harap aku membaca buku filsafat, politik, atau buku-buku berat lainnya. Membaca buku seperti itu membuat kepalaku pusing.  Setiap hari aku baca buku fiksi, novel, cerpen, puisi, kadang-kadang komik. Sekarang aku mulai keranjingan beli buku. Ahh… semoga aku tidak separah Gilkey di buku The Man Who Love Book Too Much. Dia kan dipenjara gara-gara selalu mencuri buku. Aku suka sekali penulis-penulis wanita seperti Ayu Utami, Lan Fang, Dewi Lestari dan Ratna Indraswari Ibrahim. Bagiku mereka begitu keren. Tulisan mereka selalu membuatku kepincut. Aku benar-benar ingin sperti mereka.
Hemm…Sudah ya Pak Anas, aku senang bisa ikut kelas menulis ini. Aku senang melihat semangat murid-murid kelas menulis. Semangat mereka menulariku. Begitu juga semangat Sampean mengarahkan kami. Semoga apa yang Pak Anas ajarkan bisa bermanfaat bagi kami. Para pemulay ang ingin bisa. Dan memang menulis surat memang metode yang asik untuk latihan menulis. Sudah segini saja ya Pak..harap maklum kalau tulisanku amburadul sekali.

Salam
                       
Paviliun Peri, 24 Januari 2012
IKA FARI

No comments:

Post a Comment