Sekarang hari minggu. Di
kamar ini, di atas kasur dengan sprei
warna hitam bergaris putih aku
masih meringkuk di dalam selimut dengan warna yang sama dengan spreiku.
Kubiarkan saja alarm handphoneku
meraung-raung dengan lagu Sheila on 7-Pagi yang Menakjubkan. Tapi lama-lama aku
tidak tahan juga. Kugerayangi benda kotak itu di kasurku. Sial..tanganku tak
dapat mendeteksinya. Dengan jengkel kubuka mata dan segera menekan tombol stop untuk membungkam raungan
congkaknya.
Cepat-cepat
kuraih selimutku lagi sambil melirik angka jam di handphoneku. Ahh…baru jam
setengah Sembilan. Tapi tiba-tiba aku seperti tersengat listrik. Mendadak
pikiranku kembali waras. Jam Sembilan kan aku harus ke Sanggar Guna.
Buru-buru
aku turun dari kasur. Tapi baru beberapa langkah menuju pintu tiba-tiba…
“Ahhh…!!!”teriakku
tanpa bisa terkontrol dengan diiringi suara berdebam. Tubuhku yang gendut jatuh
di lantai kamarku yang berlapis karpet coklat.
“Kenapa
Will?”tanya ibuku dengan nada penuh kekhawatiran.
“Kesandung
Bu…”jawabku sambil bersusah payah untuk bangkit.
“Kesandung
apa?”
“Batu…nggak
tau dari mana”
“Mana…nggak
ada batu…?”tanya ibu sambil celingak celinguk.
“Hah…tadi
ada kok…”sergahku penuh keyakinan.
“Halah…cepetan
mandi sana…biar cepet sadar!”kata ibu
sambil ngeloyor pergi.
Aku
yakin tadi ada batu yang menyandungku!! Mataku terus mencari-cari kemana
gerangan batu itu sambil tanganku memegangi
lututku yang ngilu, Tapi kok nggak ada...? Aneh.
***
Meskipun
sudah jam setengah sepuluh pagi, hari minggu kali ini begitu redup. Matahari
tak terlalu bersinar. Jalanan pun tak terlalu ramai. Perjalan ke Sanggar Guna,
tempatku belajar menulis, terasa begitu cepat. Tapi aku yakin, aku sudah
terlambat seperti biasa.
Setelah
melewati pagar warna krem, seperti biasa aku memarkir sepeda motor bebek warna
hitamku di bawah pohon mangga. Tapi anehnya sepeda motor yang terparkir tidak
sebanyak biasanya. Jumlahnya tidak genap sepuluh.
Di paviliun depan,
terlihat pak Anas, guru kelas menulis kami, sedang ngobrol dengan santai dengan
beberapa teman. Aneh sekali, biasanya jam segini sudah mulai. Mana sepi lagi. Mungkin
karena hari ini begitu redup makanya teman-teman kelas menulis malas untuk
keluar rumah. Mendung-mendung begini lebih enak tidur di dalam selimut.
Sambil
berjalan tertatih gara-gara peristiwa kecelakaan di kamar yang tidak jelas itu,
aku membayangkan sedang tidur di kamarku yang hangat…oh nikmatnya…
“Brukk!!!”
Ancrittt…mimpi apa aku semalam? Sekarang
aku malah mencium kerikil halaman depan sanggar.
“Kamu
nggak apa-apa Wil?”tanya Bendot yang semula berada di paviliun. Cowok kurus dan
berambut ikal ini terlihat kesusahan membantu tubuhku yang gempal ini untuk
berdiri. Setelah ini aku aka berniat untuk diet.
“Nggap
apa-apa Dot…tapi dengkulku kayaknya retak nih”jawabku sambil meringis. Kulihat
pak Anas dan beberapa teman lain sudah merubungku. Gila…pagi-pagi sudah jadi
tontonan atraksi gajah nungging. Huwhh…
“Kamu
kenapa kok tiba-tiba nyosop? belum
sarapan ya?”tanya Pak Anas dengan memasang tampang prihatin. Apa menurut pria
bermata sipit ini aku seperti penderita busung lapar?
“Kesandung
Pak…aku nggak lihat kalau ada batu,”jawabku sambil menunjuk hamparan kerikil di
bawah kakiku.
“Batu???”tanya
mereka bersamaan sambil celingak celinguk.
“Tadi
ada kok…”jawabku sambil garuk-garuk kepala.
“Sepertinya
William harus pakai kacamata seperti aku deh,”usul Fais sambil tersenyum, cewek
berkacamata itu terlihat senang dapat hiburan pagi-pagi. Senyumnya manis
sekali. Tak apalah aku jatuh 1000 kali, asal bisa melihat Fais tersenyum.
“William…William,”celetuk
Pak Anas sambil terkekeh. Emang kenapa dengan namaku? Memangnya nggak pantes ya
gajah bengkak punya nama sekeren ini? Begini-begini ibuku dulu bercita-cita
agar anaknya seganteng Pageran William, tapi sepertinya cita-citanya nggak
kesampaian. Sungguh malang ibuku.
Tanpa
menanggapi mereka, aku terus berjalan menuju perpustakaan, sambil terseok ku tinggalkan
mereka yang masih cekikikan bahagia. Sial benar aku hari ini. Dua kali
kesandung gara-gara batu, dua kali pula aku tidak menemukan batu itu. Lalu aku kesandung
apa?
Ahhh…
Begitu
masuk perpustakaan, Mas Peje, petugas perpustakaan berbadan kurus itu sudah
menyapaku. Sungguh ramah pria ini. Cukup menetralisir kedongkolan hatiku.
Di
dalam pun masih sepi, hanya ada empat anak yang sedang memilih-milih buku. Ku
hampiri saja mereka sambil melihat-lihat buku. Tapi belum sampai dapat buku
yang aku ingin kan, Pak Anas dan gerombolannya sudah masuk sambil
senyum-senyum. Waktunya belajar dimulai.
***
Kelas
menulis hari ini terasa lengang, hanya ada 11 peserta. Kami bersebelas
duduk bersila dalam diam dengan pikiran
masing-masing. Mendengarkan pelajaran baru dari Pak Anas. Pria yang suka
memakai celana pendek ini terlihat ceria membimbing kami. Mungkin karena
pagi-pagi sudah dihibur oleh badut nyosop. Sesekali suara kendaraan di
jalan raya terdengar mengiringi suara pak Anas. Membentuk simfoni kedamaian.
Begitu tenang. Jauh dari kata bising.
Ketenangan
ini menyejukkan. Meskipun kipas angin di atas kami berputar dengan sangat
pelan, hawa sejuk dari luar bisa kami rasakan. Membuat kami lebih bisa
menikmati suasana belajardengan khidmat. Setiap kata yang kami petik tercerna
baik. Tanpa hawa panas, tanpa keramaian. Lengang tapi damai. Sepi tapi
memancarkan semangat.
***
Kali
ini kami dapat tugas mendeskripsikan suasana di Sanggar guna. Sumpah aku
kebingungan. Lima menit pertama kertasku masih kosong. Kulihat sekeliling.
Bendot terlihat celingak celinguk sambil ndelosor di lantai. Jaket abu-abu yang
semula menempel di tubuhnya sudah tergeletak begitu saja disampingnya. Cari
inspirasi saja sampai segitunya.
Kemudian ku
lihat Fais, ia begitu serius berkutat dengan tulisannya. Kupandangi terus wajah
cantiknya yang makin bersinar dengan jilbab ungu yang dipakainya. Dia melirikku
sebentar. Buru-buru aku menulis entah apa di kertasku. Jantungku berdebar nggak
karuan. Baru dilirik saja sudah kayak gini. Huft…mukaku pasti sudah seperti
kepiting rebus.
Terus saja
kucorat-coret kertasku yang sudah coreng moreng dengan tulisan yang tidak
jelas. Bahkan ketika kukumpulkan, aku tidak tahu dengan pasti apa yang kutulis.
Sial…Fais sudah mengacaukan pikiranku.
***
Ketika
pelajaran usai, kami bersama-sama menyantap melon di gubuk samping sanggar.
Dengan rakusnya aku sudah habis satu piring dengan mulut terus saja nyerocos
bersama Bendot dan Usul. Kulihat Fais dan Sari datang dengan malu-malu
menjumput satu iris melon di piring setelah dipaksa Pak Anas. Tapi setelah itu
mereka langsung pergi. Ahhh…kenpa dia buru-buru pergi? Kupandangi saja
punggungnya dengan balutan terusan ungu yang membuatnya semakin anggun.
Seperti
terhipnotis, aku pun bangkit setelah tak kulihat punggung Fais. Kudengar Usul
memanggil,”Will…mau kemana?”
“Pulang,”jawabku
singkat tanpa menoleh ke arah cowok cungkring yang memakai kemeja garis-garis
itu.
Tapi
begitu sampai di tempatku memarkir sepeda motor, Fais sudah tak nampak.
Hahhh…cepat sekali hilangnya. Akhirnya kuputuskan untuk langsung pulang. Kalau
aku tidak bengong seperti babi kekenyangan, pasti sekarang aku sudah mengikuti
Fais dan tahu dimana rumahnya.
Langit
mendadak gelap. Angin bertiup sangat kencang. Segera kupercepat laju sepeda
motorku. Di depanku ada sebuah truk pengangkut batu kapur. Terpal penutup bak
terlihat berkibar-kibar tertiup angin yang kencang. Tiba-tiba..
“Bruk!Bruk!Bruk!”
lima bongkah batu kapur jatuh tepat didepanku. Tanpa bisa menghindar lagi,
sepeda motorku menabrak bongkahan besar itu. Sepeda motorku langsung oleng tak
karuan. Segera ku injak rem kaki dan menggenggam rem tangan sekuat-kuatnya.
Malaikat maut seolah melambai-lambai kepadaku. Oh Tuhan…kenapa aku mati dengan cara
seperti ini? jalanan sedang sepi, siapa yang akan menolongku?
Ternyata
malaikat maut hanya menyapaku saja. Aku berhasil menghentikan sepeda motorku
dipinggir jalan. Nafasku terengah-engah. Jantungku berdegup tak karuan. Setelah
merasa agak tenang, kulanjutkan lagi perjalanku. Tapi emosiku meledak-ledak,
ingin sekali aku menghajar sopir truk itu. Kenapa terpalnya tidak diikat dengan
kuat? Itu berbahaya sekali!
Sesampainya
di rumah,aku segera membuka kulkas dan menenggak habis air putih dalam botol.
“Habis
jongging ya Will? Kamu berniat diet ya sekarang? Bagus-bagus..” tanya ibu
sambil memutar-mutar tuning radio tua
kesayangannya.
“Aku
hampir mati Bu,”jawabku sambil menyelonjorkan kaki di lantai.
“Kok
bisa?” wajah wanita berbadan kurus itu terlihat khawatir.
“Tadi
aku habis nabrak batu kapur segede helm,”
“Batu
darimana?”
“Jatuh
dari truk, terpalnya nggak ditali, batunya pada jatuh di depanku. Huhhh…pengen
banget aku nonjok muka sopirnya. Kalau perlu aku cekik sekalian biar mampus,” omelku
penuh emosi.
“Terus
batunya dimana?
“Ya di jalan”
“Kenapa nggak
kamu singkirkan batu-batu itu dari jalan? Kamu kan masih diberi hidup, apa
salahnya menyelamatkan kehidupan orang lain juga? Kasihan kan kalau ada orang
yang nggak tahu ada batu di jalan, terus ditabrak.” cecar ibuku sambil merengut.
Kemudian wanita itu bangkit meninggalkanku.
Mendengar
rentetan pertanyaan ibu, aku seperti tersambar petir di siang bolong. Sayup-sayup
kudengar siaran dari radio yang ditinggalkan ibu bahwa telah terjadi kecelakaan
beruntun di jalan Ahmad Yani. Itu jalan yang kulewati tadi. Seketika itu juga
tubuhku terasa lemas dan ambruk di
lantai. Kulihat malaikan maut mengintip dari balik pintu.
Ika
Fari
22
Februari 2012
Istana
Peri
No comments:
Post a Comment