html

- See more at: http://kukuhpw.blogspot.com/2013/02/cara-memasang-button-share-di-side-bar.html#sthash.jmwdAAmM.dpuf

Wednesday, 22 February 2012

BATU


Sekarang hari minggu. Di kamar ini, di atas kasur dengan sprei  warna hitam bergaris putih  aku masih meringkuk di dalam selimut dengan warna yang sama dengan spreiku. Kubiarkan saja alarm handphoneku meraung-raung dengan lagu Sheila on 7-Pagi yang Menakjubkan. Tapi lama-lama aku tidak tahan juga. Kugerayangi benda kotak itu di kasurku. Sial..tanganku tak dapat mendeteksinya. Dengan jengkel kubuka mata dan segera menekan tombol stop untuk membungkam raungan congkaknya.
            Cepat-cepat kuraih selimutku lagi sambil melirik angka jam di handphoneku. Ahh…baru jam setengah Sembilan. Tapi tiba-tiba aku seperti tersengat listrik. Mendadak pikiranku kembali waras. Jam Sembilan kan aku harus ke Sanggar Guna.
            Buru-buru aku turun dari kasur. Tapi baru beberapa langkah menuju pintu tiba-tiba…
            “Ahhh…!!!”teriakku tanpa bisa terkontrol dengan diiringi suara berdebam. Tubuhku yang gendut jatuh di lantai kamarku yang berlapis karpet coklat.
            “Kenapa Will?”tanya ibuku dengan nada penuh kekhawatiran.
            “Kesandung Bu…”jawabku sambil bersusah payah untuk bangkit.
            “Kesandung apa?”
            “Batu…nggak tau dari mana”
            “Mana…nggak ada batu…?”tanya ibu sambil celingak celinguk.
            “Hah…tadi ada kok…”sergahku penuh keyakinan.
            “Halah…cepetan mandi sana…biar cepet sadar!”kata ibu sambil ngeloyor pergi.
            Aku yakin tadi ada batu yang menyandungku!! Mataku terus mencari-cari kemana gerangan batu itu sambil tanganku  memegangi lututku yang ngilu, Tapi kok nggak ada...? Aneh.
***
            Meskipun sudah jam setengah sepuluh pagi, hari minggu kali ini begitu redup. Matahari tak terlalu bersinar. Jalanan pun tak terlalu ramai. Perjalan ke Sanggar Guna, tempatku belajar menulis, terasa begitu cepat. Tapi aku yakin, aku sudah terlambat seperti biasa.
            Setelah melewati pagar warna krem, seperti biasa aku memarkir sepeda motor bebek warna hitamku di bawah pohon mangga. Tapi anehnya sepeda motor yang terparkir tidak sebanyak biasanya. Jumlahnya tidak genap sepuluh.
Di paviliun depan, terlihat pak Anas, guru kelas menulis kami, sedang ngobrol dengan santai dengan beberapa teman. Aneh sekali, biasanya jam segini sudah mulai. Mana sepi lagi. Mungkin karena hari ini begitu redup makanya teman-teman kelas menulis malas untuk keluar rumah. Mendung-mendung begini lebih enak tidur di dalam selimut.
            Sambil berjalan tertatih gara-gara peristiwa kecelakaan di kamar yang tidak jelas itu, aku membayangkan sedang tidur di kamarku yang hangat…oh nikmatnya…
            “Brukk!!!”
            Ancrittt…mimpi apa aku semalam? Sekarang aku malah mencium kerikil halaman depan sanggar.
            “Kamu nggak apa-apa Wil?”tanya Bendot yang semula berada di paviliun. Cowok kurus dan berambut ikal ini terlihat kesusahan membantu tubuhku yang gempal ini untuk berdiri. Setelah ini aku aka berniat untuk diet.
            “Nggap apa-apa Dot…tapi dengkulku kayaknya retak nih”jawabku sambil meringis. Kulihat pak Anas dan beberapa teman lain sudah merubungku. Gila…pagi-pagi sudah jadi tontonan atraksi gajah nungging. Huwhh…
            “Kamu kenapa kok tiba-tiba nyosop? belum sarapan ya?”tanya Pak Anas dengan memasang tampang prihatin. Apa menurut pria bermata sipit ini aku seperti penderita busung lapar?
            “Kesandung Pak…aku nggak lihat kalau ada batu,”jawabku sambil menunjuk hamparan kerikil di bawah kakiku.
            “Batu???”tanya mereka bersamaan sambil celingak celinguk.
            “Tadi ada kok…”jawabku sambil garuk-garuk kepala.
            “Sepertinya William harus pakai kacamata seperti aku deh,”usul Fais sambil tersenyum, cewek berkacamata itu terlihat senang dapat hiburan pagi-pagi. Senyumnya manis sekali. Tak apalah aku jatuh 1000 kali, asal bisa melihat Fais tersenyum.
            “William…William,”celetuk Pak Anas sambil terkekeh. Emang kenapa dengan namaku? Memangnya nggak pantes ya gajah bengkak punya nama sekeren ini? Begini-begini ibuku dulu bercita-cita agar anaknya seganteng Pageran William, tapi sepertinya cita-citanya nggak kesampaian. Sungguh malang ibuku.
            Tanpa menanggapi mereka, aku terus berjalan menuju perpustakaan, sambil terseok ku tinggalkan mereka yang masih cekikikan bahagia. Sial benar aku hari ini. Dua kali kesandung gara-gara batu, dua kali pula aku tidak menemukan batu itu. Lalu aku kesandung apa?
Ahhh…
            Begitu masuk perpustakaan, Mas Peje, petugas perpustakaan berbadan kurus itu sudah menyapaku. Sungguh ramah pria ini. Cukup menetralisir kedongkolan hatiku.
            Di dalam pun masih sepi, hanya ada empat anak yang sedang memilih-milih buku. Ku hampiri saja mereka sambil melihat-lihat buku. Tapi belum sampai dapat buku yang aku ingin kan, Pak Anas dan gerombolannya sudah masuk sambil senyum-senyum. Waktunya belajar dimulai.
***
            Kelas menulis hari ini terasa lengang, hanya ada 11 peserta. Kami bersebelas duduk  bersila dalam diam dengan pikiran masing-masing. Mendengarkan pelajaran baru dari Pak Anas. Pria yang suka memakai celana pendek ini terlihat ceria membimbing kami. Mungkin karena pagi-pagi sudah dihibur oleh  badut nyosop. Sesekali suara kendaraan di jalan raya terdengar mengiringi suara pak Anas. Membentuk simfoni kedamaian. Begitu tenang. Jauh dari kata bising.
            Ketenangan ini menyejukkan. Meskipun kipas angin di atas kami berputar dengan sangat pelan, hawa sejuk dari luar bisa kami rasakan. Membuat kami lebih bisa menikmati suasana belajardengan khidmat. Setiap kata yang kami petik tercerna baik. Tanpa hawa panas, tanpa keramaian. Lengang tapi damai. Sepi tapi memancarkan semangat.
***
            Kali ini kami dapat tugas mendeskripsikan suasana di Sanggar guna. Sumpah aku kebingungan. Lima menit pertama kertasku masih kosong. Kulihat sekeliling. Bendot terlihat celingak celinguk sambil ndelosor di lantai. Jaket abu-abu yang semula menempel di tubuhnya sudah tergeletak begitu saja disampingnya. Cari inspirasi saja sampai segitunya.
Kemudian ku lihat Fais, ia begitu serius berkutat dengan tulisannya. Kupandangi terus wajah cantiknya yang makin bersinar dengan jilbab ungu yang dipakainya. Dia melirikku sebentar. Buru-buru aku menulis entah apa di kertasku. Jantungku berdebar nggak karuan. Baru dilirik saja sudah kayak gini. Huft…mukaku pasti sudah seperti kepiting rebus.
Terus saja kucorat-coret kertasku yang sudah coreng moreng dengan tulisan yang tidak jelas. Bahkan ketika kukumpulkan, aku tidak tahu dengan pasti apa yang kutulis. Sial…Fais sudah mengacaukan pikiranku.
***
            Ketika pelajaran usai, kami bersama-sama menyantap melon di gubuk samping sanggar. Dengan rakusnya aku sudah habis satu piring dengan mulut terus saja nyerocos bersama Bendot dan Usul. Kulihat Fais dan Sari datang dengan malu-malu menjumput satu iris melon di piring setelah dipaksa Pak Anas. Tapi setelah itu mereka langsung pergi. Ahhh…kenpa dia buru-buru pergi? Kupandangi saja punggungnya dengan balutan terusan ungu yang membuatnya semakin anggun.
            Seperti terhipnotis, aku pun bangkit setelah tak kulihat punggung Fais. Kudengar Usul memanggil,”Will…mau kemana?”
            “Pulang,”jawabku singkat tanpa menoleh ke arah cowok cungkring yang memakai kemeja garis-garis itu.
            Tapi begitu sampai di tempatku memarkir sepeda motor, Fais sudah tak nampak. Hahhh…cepat sekali hilangnya. Akhirnya kuputuskan untuk langsung pulang. Kalau aku tidak bengong seperti babi kekenyangan, pasti sekarang aku sudah mengikuti Fais dan tahu dimana rumahnya.
            Langit mendadak gelap. Angin bertiup sangat kencang. Segera kupercepat laju sepeda motorku. Di depanku ada sebuah truk pengangkut batu kapur. Terpal penutup bak terlihat berkibar-kibar tertiup angin yang kencang. Tiba-tiba..
“Bruk!Bruk!Bruk!” lima bongkah batu kapur jatuh tepat didepanku. Tanpa bisa menghindar lagi, sepeda motorku menabrak bongkahan besar itu. Sepeda motorku langsung oleng tak karuan. Segera ku injak rem kaki dan menggenggam rem tangan sekuat-kuatnya. Malaikat maut seolah melambai-lambai kepadaku. Oh Tuhan…kenapa aku mati dengan cara seperti ini? jalanan sedang sepi, siapa yang akan menolongku?
            Ternyata malaikat maut hanya menyapaku saja. Aku berhasil menghentikan sepeda motorku dipinggir jalan. Nafasku terengah-engah. Jantungku berdegup tak karuan. Setelah merasa agak tenang, kulanjutkan lagi perjalanku. Tapi emosiku meledak-ledak, ingin sekali aku menghajar sopir truk itu. Kenapa terpalnya tidak diikat dengan kuat? Itu berbahaya sekali!
            Sesampainya di rumah,aku segera membuka kulkas dan menenggak habis air putih dalam botol.
            “Habis jongging ya Will? Kamu berniat diet ya sekarang? Bagus-bagus..” tanya ibu sambil memutar-mutar tuning radio tua kesayangannya.
            “Aku hampir mati Bu,”jawabku sambil menyelonjorkan kaki di lantai.
            “Kok bisa?” wajah wanita berbadan kurus itu terlihat khawatir.
            “Tadi aku habis nabrak batu kapur segede helm,”
            “Batu darimana?”
            “Jatuh dari truk, terpalnya nggak ditali, batunya pada jatuh di depanku. Huhhh…pengen banget aku nonjok muka sopirnya. Kalau perlu aku cekik sekalian biar mampus,” omelku penuh emosi.
            “Terus batunya dimana?
“Ya di jalan”
“Kenapa nggak kamu singkirkan batu-batu itu dari jalan? Kamu kan masih diberi hidup, apa salahnya menyelamatkan kehidupan orang lain juga? Kasihan kan kalau ada orang yang nggak tahu ada batu di jalan, terus ditabrak.” cecar ibuku sambil merengut. Kemudian wanita itu bangkit meninggalkanku.
            Mendengar rentetan pertanyaan ibu, aku seperti tersambar petir di siang bolong. Sayup-sayup kudengar siaran dari radio yang ditinggalkan ibu bahwa telah terjadi kecelakaan beruntun di jalan Ahmad Yani. Itu jalan yang kulewati tadi. Seketika itu juga tubuhku terasa lemas dan  ambruk di lantai. Kulihat malaikan maut mengintip dari balik pintu.

Ika Fari
22 Februari 2012
Istana Peri
           

No comments:

Post a Comment