Pengarang : Muhidin
M. Dahlan
Penerbit : Jendela (Yogyakarta)
Ukuran Halaman : 12 x 18 cm
Jumlah Halaman : 356
Tahun Terbit : 2003
Sebenarnya,
saya mendapat pinjaman buku ini secara tidak sengaja. Sebelumnya memang saya
dan seorang teman mengobrolkan tentang beberapa pengarang dan pemikirannya. Dan
nama Muhidin M. Dahlan muncul sebagai salah satu topik obrolan kami lantaran
namanya ada di salah satu artikel yang dikliping oleh temanku tersebut.
Penulis
yang biasa disapa Gus Muh ini, kata temanku, adalah seorang penggemar beratnya
Pramoedya Ananta Tour. Terbukti dari beberapa resensinya yang dimuat selalu
menyangkutkan Mbah Pram. Nah…dari situ barulah aku tahu sedikit tentang Gus
Muh.
Terlepas
dari bagaimana saya bisa meminjam buku ini, ternyata buku berukuran 12x8 cm ini
cukup memiliki magnet untuk menarik saya. Padahal waktu itu ada tiga buku lain
ada di hadapanku. Ya…sayapenasaran dengan gambar pertokoan tua disampul depan
yang kemudian saya tahu kalau itu adalah kartu pos “Malioboro Street, Djogdjakarta
1938. Begitu yang tertulis di halaman sampul.
Nah…itu
dia…saya suka sekali hal-hal yang berbau Jogja. Dan dengan buku ini saya seolah
dibawa melesat ke Jogja dan merasakan atmosfer Jogja kala itu. Gus Muh yang dengan
gayanya yang realis berhasil membius saya untuk membaca buku ini sampai
selesai.
***
Ketika
membaca Catatan Pembuka Transkiptor, ada sepenggal kalimat yang membuat saya
merenungi kata-katanya :
“Scripta manent verba Volant-yang tertulis
akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin”
Lagi…lecutan untuk
menulis. Sebegitu besarkah kekuatan tulisan? Ahh..tapi kalau dipikir-pikir
memang benar. Memori manusia memang sangat terbatas, dan untuk membantu kinerja
memori, kita butuh catatan, butuh tulisan. Bukan begitu?
Masih dibagian
awal tersebut, penulis cukup membuat saya tersenyum-senyum dengan gaya
penulisannya yang blak-blakan dan menggelikan, tak jarang dia mengeluarkan
umpatan yang alami, tidak terkesan dibuat-buat.
Di Pengakuan
Kesatu (keseluruhan, ada 12 pengakuan), penulis menceritakan masa kecilnya yang
sangat jauh dari yang namanya buku bacaan. Diceritakan pula bagaimana
kehidupannya yang miskin di daerah pelosok.
Kehidupan yang
keras membuatnya harus bekerja memetik cengkeh untuk membeli buku cetak
(sebutan untuk buku pelajaran sekolah yang dipakai acuan oleh gurunya). Di masa
itu ia menyebut dirinya mempunya tiga rabun sekaligus. Rabun membaca, rabun
menulis, dan rabun berhitung lantaran dalam semua pelajaran dia hanya
mengandalkan hafalan sedangkan sebenarnya ia sama sekali tidak mengerti yang
diajarkan di sekolah waktu itu. Meski menyandang tiga rabun sekaligus, ia lulus
dengan predikat terbaik di tiga kecamatan.
Kerabunannya
berangsur-angsur sembuh ketika dia melanjutkan sekolah ke STM di kota. Dari
situ ia mulai mengenal buku bacaan dan ikut organisasi. Kegandrungannya akan
buku mulai menjadi ketika ia kuliah di Jogja, dengan uang pas-pasan dari kampung
halamannya, ia bukannya kuliah dengan serius tapi malah membelanjakannya untuk
membei buku dan sisanya untuk makan.
Dan ketika masuk
keredaksian Majalah Kampus, dia mulai belajar menulis. Awalnya dia hanya
menyalin dari buku dengan beberapa tambahan. Tapi semangatnya untuk menulis
begitu menggebu, dia sering menulis ke Koran, dan sering pula ditolak. Meski
begitu tak ada kata menyerah untuk menulis. Baginya dia tidak mempunyai
kemampuan apa-apa selain menulis.
Hingga kemudian
dia ditawari temannya bekerja di penerbitan, dengan gaji yang sangat kecil dia
mengabdikan diri di penerbitan tersebut. Hingga kuliahnya pun keteteran dan di
DO. Tapi konflik dengan atasannya terjadi dan dia keluar hingga ditawari di
sebuah penerbitan, kondisinya pun tak jauh beda. Cerita berakhir tanpa ada
keberhasilan dalam diri si Aku dalam cerita tersebut.
Tapi ada yang
begitu menarik di tulisan ini, semangat si Aku yang luar biasa dalam dunia buku
dan tulis menulis patut diacungi jempol. Meski dalam kondisi yang serba
kekurangan, bahkan kemana-mana ia hanya ditemani sepeda bututnya, ia tidak
pernah berhenti menulis. Saya tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada
saya. Semangant saya belum seujung kukunya.
Overall, banyak
yang bisa diambil dari buku ini, terutama tentang dunia penerbitan yang ada di
Jogja. Seperti yang di tulis tangan oleh Gus Muh sendiri di halaman depan “Penerbit Jogja itu aneh dan lucu-lucu.”
(Saya semakin ingin menghabiskan sisa umur
saya di Jogja…)
Ika Fari
11 Februari 2012
Gubuk Peri
Jogja, banyak ceria.. banyak cerita...
ReplyDeleteHaiiiiiikkkkkk ! Jambore Oi mas dAn............???
Deletehemmmmm...
Deleteiya...sepertinya begitu...:)
ReplyDelete