html

- See more at: http://kukuhpw.blogspot.com/2013/02/cara-memasang-button-share-di-side-bar.html#sthash.jmwdAAmM.dpuf

Monday, 13 February 2012

Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta


Pengarang                   :           Muhidin M. Dahlan
Penerbit                       :           Jendela  (Yogyakarta)
Ukuran Halaman         :           12 x 18 cm
Jumlah Halaman          :           356
Tahun Terbit                :           2003
                Sebenarnya, saya mendapat pinjaman buku ini secara tidak sengaja. Sebelumnya memang saya dan seorang teman mengobrolkan tentang beberapa pengarang dan pemikirannya. Dan nama Muhidin M. Dahlan muncul sebagai salah satu topik obrolan kami lantaran namanya ada di salah satu artikel yang dikliping oleh temanku tersebut.
                Penulis yang biasa disapa Gus Muh ini, kata temanku, adalah seorang penggemar beratnya Pramoedya Ananta Tour. Terbukti dari beberapa resensinya yang dimuat selalu menyangkutkan Mbah Pram. Nah…dari situ barulah aku tahu sedikit tentang Gus Muh.
                Terlepas dari bagaimana saya bisa meminjam buku ini, ternyata buku berukuran 12x8 cm ini cukup memiliki magnet untuk menarik saya. Padahal waktu itu ada tiga buku lain ada di hadapanku. Ya…sayapenasaran dengan gambar pertokoan tua disampul depan yang kemudian saya tahu kalau itu adalah  kartu pos “Malioboro Street, Djogdjakarta 1938. Begitu yang tertulis di halaman sampul.
                Nah…itu dia…saya suka sekali hal-hal yang berbau Jogja. Dan dengan buku ini saya seolah dibawa melesat ke Jogja dan merasakan atmosfer Jogja kala itu. Gus Muh yang dengan gayanya yang realis berhasil membius saya untuk membaca buku ini sampai selesai.
***
                Ketika membaca Catatan Pembuka Transkiptor, ada sepenggal kalimat yang membuat saya merenungi kata-katanya :
“Scripta manent verba Volant-yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin”
Lagi…lecutan untuk menulis. Sebegitu besarkah kekuatan tulisan? Ahh..tapi kalau dipikir-pikir memang benar. Memori manusia memang sangat terbatas, dan untuk membantu kinerja memori, kita butuh catatan, butuh tulisan. Bukan begitu?
Masih dibagian awal tersebut, penulis cukup membuat saya tersenyum-senyum dengan gaya penulisannya yang blak-blakan dan menggelikan, tak jarang dia mengeluarkan umpatan yang alami, tidak terkesan dibuat-buat.
Di Pengakuan Kesatu (keseluruhan, ada 12 pengakuan), penulis menceritakan masa kecilnya yang sangat jauh dari yang namanya buku bacaan. Diceritakan pula bagaimana kehidupannya yang miskin di daerah pelosok.
Kehidupan yang keras membuatnya harus bekerja memetik cengkeh untuk membeli buku cetak (sebutan untuk buku pelajaran sekolah yang dipakai acuan oleh gurunya). Di masa itu ia menyebut dirinya mempunya tiga rabun sekaligus. Rabun membaca, rabun menulis, dan rabun berhitung lantaran dalam semua pelajaran dia hanya mengandalkan hafalan sedangkan sebenarnya ia sama sekali tidak mengerti yang diajarkan di sekolah waktu itu. Meski menyandang tiga rabun sekaligus, ia lulus dengan predikat terbaik di tiga kecamatan.
Kerabunannya berangsur-angsur sembuh ketika dia melanjutkan sekolah ke STM di kota. Dari situ ia mulai mengenal buku bacaan dan ikut organisasi. Kegandrungannya akan buku mulai menjadi ketika ia kuliah di Jogja, dengan uang pas-pasan dari kampung halamannya, ia bukannya kuliah dengan serius tapi malah membelanjakannya untuk membei buku dan sisanya untuk makan.
Dan ketika masuk keredaksian Majalah Kampus, dia mulai belajar menulis. Awalnya dia hanya menyalin dari buku dengan beberapa tambahan. Tapi semangatnya untuk menulis begitu menggebu, dia sering menulis ke Koran, dan sering pula ditolak. Meski begitu tak ada kata menyerah untuk menulis. Baginya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa selain menulis.
Hingga kemudian dia ditawari temannya bekerja di penerbitan, dengan gaji yang sangat kecil dia mengabdikan diri di penerbitan tersebut. Hingga kuliahnya pun keteteran dan di DO. Tapi konflik dengan atasannya terjadi dan dia keluar hingga ditawari di sebuah penerbitan, kondisinya pun tak jauh beda. Cerita berakhir tanpa ada keberhasilan dalam diri si Aku dalam cerita tersebut.
Tapi ada yang begitu menarik di tulisan ini, semangat si Aku yang luar biasa dalam dunia buku dan tulis menulis patut diacungi jempol. Meski dalam kondisi yang serba kekurangan, bahkan kemana-mana ia hanya ditemani sepeda bututnya, ia tidak pernah berhenti menulis. Saya tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada saya. Semangant saya belum seujung kukunya.
Overall, banyak yang bisa diambil dari buku ini, terutama tentang dunia penerbitan yang ada di Jogja. Seperti yang di tulis tangan oleh Gus Muh sendiri di halaman depan “Penerbit Jogja itu aneh dan lucu-lucu.”
(Saya semakin ingin menghabiskan sisa umur saya di Jogja…)

Ika Fari
11 Februari 2012
Gubuk Peri

4 comments: